Sabtu, 08 September 2012

Maling Kampungan


Maling Kampungan
Oleh Afrizal

     
     Pagi buta, beberapa orang warga menemukan seorang anak gadis tergeletak di bawah po-hon di pinggir hutan di batas kampung. Wajahnya kuyu dan pakaiannya acak-acakkan. Dan, gadis itu tidak mampu menjawab tanya orang-orang mengapa dia berada di sana sepagi itu. Mulut gadis itu terkunci rapat. Tampaknya telah terjadi sesuatu yang buruk pada gadis ini. Peristiwa ini dengan cepat tersiar ke seluruh kampung. Kampung pun seketika heboh.
     Selang setengah jam, berita itu juga telah sampai ke kepala kampung. Kepala kampung yang terkenal reaktif itu pun bertindak. Keamanan kampung segera ditugaskan untuk men-cari siapa si pelaku. Sementara itu, supaya warga kampung tidak dicekam ketakutan, melalui corong surau, juru penerang kampung memberikan pengertian kepada masyarakat. Keama-nan diperketat. Jaga malam kembali dihidupkan.
     Bagaimana pun hebatnya sistem keamanan, maling ya tetap maling, selalu saja punya ce-lah. Semalam, berjarak cuma beberapa pekan dari peristiwa pertama, anak gadis Pak Lakik, upiak Rubiah, ditemukan di ladang Ju Un. Gadis cantik yang malang itu dibawa ke rumahnya oleh warga dengan diiringi isak tangis orang tuanya.
     Rubiah adalah gadis baik, sopan dan pintar. Beberapa kali ia tercatat mewakili kampung  mengikuti lomba baca Qur’an. Ia harapan keluarga untuk memberikan contoh kepada adik-adiknya. Bahkan teladan bagi para wanita dalam sopan santun pergaulan di kampung itu. Banyak anak muda yang berharap kelak bisa mempersunting gadis ini. Namun, karena mu-sibah yang menimpanya, gadis ini akan layu seperti bunga yang usai dihisap madunya. Tidak akan ada lagi laki-laki yang melirik. Gadis itu akan menjadi gadis sunyi, berkurung diri di kamar dan tersisih dari pergaulan.
     Karena keamanan kampung tidak berhasil mengungkap siapa pelaku yang menculik gadis-gadis itu, kepala kampung pun punya inisiatif lain, yaitu mengumpulkan orang-orang pintar, orang sakti, tetua adat, para datuk dan ulama. Dari lurah, dari gunung, lembah mereka berda-tangan. Beberapa keluarga korban ikut dihadirkan. Barangkali kehadiran mereka bisa mem-berikan kontribusi untuk membuat keputusan nantinya. Sidang yang diadakan di surau kecil itu pun dimulai.
     Berbagai pandangan dikemukan.
      “Menurut mato batin Ambo, kasus ini termasuk kategori sulit untuk dipecahkan,” begitu Katik Endah,  paranormal dari dusun Baliak Bukit memulai. “Korban tidak bisa diminta ke-terangannya. Di tempat kejadian juga tidak ditemukan bukti... .”
     “Bapak Kepala Kampung,” Wan Pulun memotong. “Kok tidak ada bukti! Bukankah si korban itu bisa dijadikan barang bukti!“
     “Maksud Ambo... .”
     “Ini menyangkut harga diri, sampai kapan pun mereka tidak akan mau bicara.”
     “Lalu?” tanya kepala kampung.
     Hadirin terdiam.
     “Mm, maaf,” suara Yek Damang orang pandai dari dusun Seberang Sungai dengan  ragu-ragu memecah sunyi.
     “Ya silakan!”
     “Saya tidak melihat Pakiah Yunuih,  apa lupa diundang?”
     Kepala kampung menoleh ke kiri, ke arah Katar. Katarlah yang menyebarkan undangan. Katar gelagapan namun dengan cepat memberikan isyarat kepada kepala kampung. Isyarat yang hanya mereka berdua yang mengerti.
     “Alaa, kita jangan bersandi pada satu orang!” dengan nada agak kesal kepala kampung menanggapi pertanyaan Yek Damang.
     “Maksud saya, mungkin akan lebih afdol dengan kehadiran beliau!”
     “Nah, kita-kita ini dianggap apa!” kepala kampung kaget.
     “Tanpa mengecilkan arti kita-kita yang ada di ruangan ini, tapi kehadiran Pakiah Yunuih satu-satunya sesepuh kampung yang masih ada, masih kita butuhkan,” suara dari kiri ruangan. Seluruh mata yang hadir tertuju ke arah datangnya suara. Angku Nurdin yang dari tadi diam sambil menghisap rokok gulungan daun nipah ikut bicara. “Roh jahat itu se-lalu berawal dari selatan kampung kita. Lupakah kita bahwa lambah yang ada di sana pada awal pendirian kampung ini pernah dijadikan tempat pembuangan iblis? Pakiah Yunuih tahu persis hal itu! Sebuah kecerobohan kalau tidak melibatkan beliau.”
     “Yang berbuat sekarang ini bukan iblis, tapi maling,” sebuah suara dari pojok ruangan. “Kita tidak perlu Pakiah Yunuih!”
     “Ya, belum dibutuhkan,” suara Katik Endah keras. “ Ini kan perbuatan maling kampung-an,” lanjutnya.
     “Ya, yang namanya maling pasti dikuasai iblis,” dengan nada meledek sehingga memancing gelak tawa hadirin.
     “Sudah! Sudah, dalam situasi begini kalian masih bisa saja tertawa,” kepala kampung me-nengahi pembicaraan. “Bukannya jalan keluar yang kalian kemukakan, malah melontarkan kalimat-kalimat yang tidak jelas. Ya sudah, percuma mengundang kalian. Kasus ini saya am-bil alih saja. Namun sebagai perpanjangan tangan, saya mohon kesediaan Saudara Katik Endah untuk memimpin di lapangan.” Tiba-tiba ruangan surau yang kecil itu ramai oleh suara. Hadirin saling berbisik kepada orang yang duduk di samping kiri atau kanan mereka. Keputusan itu mengagetkan. Yang lebih pantas menurut mereka adalah kalau tidak Yek Damang atau malah Angku nurdin. Kesepuhan mereka tidak bisa diragukan lagi. Namun ini adalah keputusan kepala kampung, mereka tidak berani protes. Padahal mereka semua tahu siapa itu Katik Endah. Di usianya yang masih muda itu tentu saja pengalamannya masih dangkal. Mendapatkan kepercayaan, Katik Endah memperlihatkan kemenangan. Hidungnya yang lebar itu pun semakin mekar.
     “Maaf, Kepala Kampung, “ sebuah suara yang berat terdengar dari arah kanan ruangan. Seorang lelaki tua, kulit pipinya keriput, botak, janggutnya panjang, mata tersuruk ke dalam, namun bola matanya seperti sepasang mata kobra. Beliau adalah Sorak, seorang dukun dari dusun Patuih Kiramaik. Suara gemuruh pun reda seketika. “Saya tidak meragukan kemam-puan Katik Endah,  namun bolehkah saya mengabdikan diri dalam tim ini?” Sorak bicara agak malu-malu, dari matanya terlihat ia memang berharap untuk dapat masuk tim pimpinan Katik Endah.
     “Ya boleh, “ kepala kampung tersenyum. “Tapi harus satu kata, jangan menggunting dalam lipatan. Bukan begitu para ulama?”  Ulama yang hadir malam itu hampir serentak mengangguk.
     Pertemuan usai. Undangan berarak pulang. Sambil pulang orang-orang sibuk mendis-kusikan penunjukan Katik Endah. Kemampuan Katik Endah diragukan untuk dapat me-nuntaskan kasus ini. Bahkan sebagian ada yang mencibirkan keputusan yang dibuat oleh pimpinan mereka. “Lihat saja nanti, kalau kasus ini tuntas,  potong kuping saya,” kata Yek Damang sambil memegang daun kupingnya yang sebelah kiri kepada teman-teman seper-jalanannya. “Sorak itu lebih tepat disebut si tukang santet daripada mengobati orang!”
     “Jangan-jangan ada konspirasi lain dibalik penunjukan Katik Endah,” yang lain menim-pali.
     Suasana kampung tidak juga kunjung lepas dari bayang-bayang ketakutan. Walaupun sudah beberapa pekan tim bentukan kepala kampung itu bekerja, hasilnya belum terlihat. Sebulan sudah, malah ada peristiwa yang paling mengejutkan. Sekarang ada kecendrungan pelaku memperluas mangsanya. Bukan hanya gadis, tapi janda. Tercatat, Limah, janda di-tinggal mati almarhum Wan Sarun, ditemukan oleh sekelompok warga di bawah pohon Sagu Pak Sabas. Posisi badannya tengkurap, seperti biasa kondisinya lemas. Tidak ada kata-kata yang bisa didengar dari Limah sebagai petunjuk siapa kira-kira yang membawa dia ke sana. Tim yang dipimpin Katik Endah datang ke lokasi. Hanya bisa manggut-manggut dan tanpa mendapatkan petunjuk apa-apa untuk membuka tabir persitiwa itu.
     Ketakutan warga semakin menjadi-jadi. Sebagian bapak-bapak malah ada yang berse-loroh, “Sekarang janda, jangan-jangan istri-istri kita nanti yang mereka boyong dari bilik rumah kita saat kita tidur.  Cilako tigo baleh!
     Karena tim bentukannya tidak efektif, kepala kampung mengambil inisiatif untuk menga-dakan pertemuan lagi. Orang-orang yang diundang pada pertemuan pertama dipanggil kem-bali. Kali ini pertemuan dihadiri oleh banyak warga. Warga sangat penasaran kira-kira kepu-tusan penting apa yang akan diambil oleh kepala kampung kali ini. Apakah masih tidak me-ngindahkan pendapat dan suara warga dalam proses pengambilan keputusan, atau bertindak ceroboh dengan tim palai badah kosong di bawah komando Katik Endah?  Namun baru saja kepala kampung ingin memulai pertemuan, tiba-tiba masuklah sepasang suami istri. Mereka menyeruak di antara hadirin, dan meratap di hadapan kepala kampung. Tidak begitu jelas apa yang disampaikan pasangan itu karena isak tangisnya menggetarkan bibirnya saat bicara. Orang-orang yang duduknya paling dekat dengan kepala kampung, hanya dapat menangkap sepotong kalimat bahwa anak gadisnya yang tadi usai salat Magrib tiba-tiba menghilang. Pe-ristiwa ini membuat suasana pertemuan menjadi kacau. Dan akhirnya, dengan suara keras kepala kampung berteriak, Bapak-bapak, Ibu-ibu semua, malam ini mari kita berjaga, tidak seorang pun warga boleh tidur kecuali wanita hamil dan balita, kita amankan setiap jengkal kampung kita. Temukan anak gadis Bapak Ibu ini!”
     “Yaaa, kita basmi kejahatan!” Begitu sambut orang-orang. “Apa sih yang diinginkan oleh maling kampungan yang bejat itu?” suara yang lain tak kalah lantangnya sambil mengepalkan tinju. Jadilah malam itu malam yang sibuk. Namun seperti biasa, menjelang pagi barulah anak gadis yang dicari itu ditemukan tergolek di pondok ladang jagung Pak Samiak.
***
      Satu tahun hampir! Kekacauan yang menimpa kampung itu tak sempat juga terpecahkan. Inisial maling juga belum diketahui. Terhitung hampir enam gadis, tiga janda, satu berstatus istri warga sudah menjadi korbannya. Seperti itu catatan yang bisa kita baca di kantor  kepala kampung. Bahkan berita yang menggegerkan adalah salah seorang gadis yang pernah jadi korban maling itu, sekarang ini tengah hamil. Nah, lho, mengandung anak siapa? Sebuah aib besar tentunya bagi keluarga yang ditimpa namun lain dengan ketua tim bentukkan kepala kampung. Ia berharap anak yang dikandung gadis malang itu bisa lahir dengan selamat. Mungkin ada saja tanda yang bisa dibaca melalui orok yang lahir itu sebagai petunjuk. Sayang memang, bayi itu sudah muncul di dunia ini di saat kehamilan belum sempurna. Lahir prema-tur! Katik Endah sibuk memeriksa orok yang lahir tanpa nyawa itu. Namun ia kembali gagal menemukan petunjuk pemecahan kasus ini. Di sisi lain, berkembang isu yang menghebohkan. Adalah Mak Oon, dukun beranak yang membantu proses persalinan itu sebenarnya melihat ciri berupa tando hitam di daun telinga sebelah kanan si bayi. Kalau begitu, siapa yang benar ni! Opini masyarakat pun terpecah.
     Tando hitam! Mungkinkah itu warisan dari ayah biologisnya?
     Semua warga sibuk membicarakannya, bahkan tanpa mereka sadari, mereka telah sibuk memeriksa daun telinga mereka sendiri, saudara, tetangga dan tamu laki-laki yang sempat berkunjung ke kampung mereka.
     “Tidak akan pernah ditemukan tando hitam itu.”
     “Kok begitu!”
     “Kalau ambo katakan tidak, ya tidak. Memang kalian berani memeriksa daun telinga kepa-la kampung kita,” begitu suara Yek Damang lancang di warung kopi Mak Noma pagi itu.
     “Lho, mengapa harus daun telinga kepala kampung?”
     “Semua orang kampung, termasuk orang yang lalu lalang di kampung kita, sudah diperik-sa, tidak ditemukan tando itu. Satu-satunya yang belum ya kepala kampung.“ Yek Damang bicara serius. Orang-orang yang hadir di situ saling berpandangan.
     “Apa mungkin... .”
     “Pertanyaan kalian nah di situ ada jawabannya, “ Yek Damang tersenyum renyah, semen-tara tangan kanannya mengacung ke timur, ke arah puncak bukit Barisan nan menghijau. “Ni, nasi katan satu, kopi segelas, dan pisang goreng tiga, “ sambil menaruh uang sepuluh ribuan di meja warung kopi Mak Noma. Selanjutnya Yek Damang mengurai langkah menuju arah timur. Orang-orang hanya saling berpandangan menatap kepergian Yek Damang.
                                                                                                      
                                                                                                     Neroktog, September 2011


  

8 komentar:

  1. pada awal cerita memang agak membingungkan,karena pembaca tidak tahu siapakah pelakunya. tetapi diakhir cerita diberikan jawaban yang mana pembaca dapat mengira-ngira pelakunya.dalam cerita juga diajarkan bermusyawarah dalam memecahkan masalah,yg mungkin jarang kita temui pada saat ini.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Cerita yang sungguh menarik , membuat pembacanya tertarik menuju inti daripada cerita tersebut , walaupun terkadang bahasa yg di gunakan dalam bahasa tersebut agak sulit untuk di mengerti di tambah lagi dengan penggunaan bahasa daerah yang mungkin sebagian sulit untuk memahami , tetapi itu menjadi sebuah ciri ketertarikan pembaca dalam cerita tersebut , di dalam cerita kita juga dapat menyimpulkan bahwa kita harus menyelesaikan sebuah masalah dengan musyawarah walaupun sangat sulit untuk mencari hasil dari musyawarah tersebut , di dalam cerita itu juga di sebutkan bahwa musyawarah dilakukan selama berbulan-bulan tanpa mendapatkan hasil , tetapi pembaca dapat menyimpulkan bahwa bukti terakhir pelaku kejahatan adalah sang kepala kampung sendiri walupun sangat mustahil untuk di buktikan .. Terimakasih

    Ahsan Abdul Kholis
    XII IPS 3

    BalasHapus
  5. mungkin menurut dari cerita ini kita tidak bisa menyebutkan satu persatu tokoh yang ada dalam cerpen ini. Ada kalimat tidak langsung dan langsung yang membingungkan. Ada kata-kata yang membuat orang awam mungkin tidak mengerti, seperti 'Celako Tiga Baleh' itu bahasa minang, kebetulan saya juga orang minang dan dapat mengerti hehe. Selebihnya sudah cukup bagus cerpennya,alur konflik yang menegangkan membuat pembaca pasti bertanya-tanya siapa pelakunya dan banyak amanat yang disampaikan cerpen ini.
    Salah satunya, perempuan harus berhati-hati dalam segala hal, jangan berpergian pada malam hari karena itu berbahaya.

    Dicky Nurrahman
    XII IPS 3

    BalasHapus
  6. 1. Pesan bagi para wanita , bahwa tidak "diizinkan" untuk keluar malem karena bahaya bagi dirinya sendiri. Dan tidak memakai pakaian yang mengandung "nafsu" para lelaki

    2. Bercerita tentang seorang gadis yang terkena musibah pemerkosaan

    3. Tokohnya
    -Rubiah
    -Katik Endah
    -Wan Pulun
    -Yek Danang
    -Sorak
    -Angku Marin
    -Pak Lakik
    -Katar

    4.Akan membicarakan secara musyawarah ,terus "mengaktifkan" berjaga malam (ronda malam), dan apabila terjadi kejadian yang sama, akan diusut tuntas dan akan mencari pelaku nya sampai ketemu

    Ewa Hilal Kamaluddin
    Xii ips 5

    BalasHapus
  7. 1. Pesan bagi para wanita , jangan pulang larut malam dan tidak memakai pakaian yang mengundang nafsu lelaki

    2. Bercerita tentang seorang gadis yang terkena musibah pemerkosaan

    3. Tokohnya
    -Rubiah
    -Katik Endah
    -Wan Pulun
    -Yek Danang
    -Sorak
    -Angku Marin
    -Pak Lakik
    -Katar

    4.Akan membicarakan secara musyawarah ,lalu mulai berjaga malam, setelah itu jika pelaku tertangkap langsung diadili seadil adilnya dengan cara kemanusiaan

    Indrajaya Prasetya
    XII IIS 5

    BalasHapus
  8. Nama : Alfarizqi Wisnu Adji
    Kelas : XII IIS 5

    Pertanyaan dijawab pada hari ini :
    Kamis 13 Oktober 2016

    1. Pesan yang disampaikan penulis adalah kejahatan bisa saja datang dari orang-orang yang selama ini kita anggap baik dan terhormat dan juga bahwa masih ada orang yang menutupi kejahatan ini dengan menggunakan kekuasaan yang mereka punya.

    2. Cerita ini menceritakan tentang kejahatan yang bisa menimpa kaum perempuan dan merendahkan harga diri warga yang tidak bersalah.

    3. Kepala Desa(baik,licik), Katik Endah(baik,menghormati sesepuh), Yek Damang(bijaksana), Dukun(Hebat).

    4. Saya akan berlaku jujur kepada setiap warga dan meminta maaf kepada keluarga saya atas perbuatan yang saya lakukan dan menyerahkan diri kepada warga

    BalasHapus