Maling Kampungan
Oleh Afrizal
Pagi buta, beberapa orang warga
menemukan seorang anak gadis tergeletak di bawah po-hon di pinggir hutan di
batas kampung. Wajahnya kuyu dan pakaiannya acak-acakkan. Dan, gadis itu tidak
mampu menjawab tanya orang-orang mengapa dia berada di sana sepagi itu. Mulut
gadis itu terkunci rapat. Tampaknya telah terjadi sesuatu yang buruk pada gadis
ini. Peristiwa ini dengan cepat tersiar ke seluruh kampung. Kampung pun seketika
heboh.
Selang setengah jam, berita itu juga
telah sampai ke kepala kampung. Kepala kampung yang terkenal reaktif itu pun
bertindak. Keamanan kampung segera ditugaskan untuk men-cari siapa si pelaku.
Sementara itu, supaya warga kampung tidak dicekam ketakutan, melalui corong surau,
juru penerang kampung memberikan pengertian kepada masyarakat. Keama-nan
diperketat. Jaga malam kembali dihidupkan.
Bagaimana pun hebatnya sistem
keamanan, maling ya tetap maling, selalu saja punya ce-lah. Semalam, berjarak cuma
beberapa pekan dari peristiwa pertama, anak gadis Pak Lakik, upiak Rubiah, ditemukan
di ladang Ju Un. Gadis cantik yang malang itu dibawa ke rumahnya oleh warga
dengan diiringi isak tangis orang tuanya.
Rubiah adalah gadis baik, sopan
dan pintar. Beberapa kali ia tercatat mewakili kampung mengikuti lomba baca Qur’an. Ia harapan
keluarga untuk memberikan contoh kepada adik-adiknya. Bahkan teladan bagi para wanita
dalam sopan santun pergaulan di kampung itu. Banyak anak muda yang berharap
kelak bisa mempersunting gadis ini. Namun, karena mu-sibah yang menimpanya, gadis
ini akan layu seperti bunga yang usai dihisap madunya. Tidak akan ada lagi laki-laki
yang melirik. Gadis itu akan menjadi gadis sunyi, berkurung diri di kamar dan
tersisih dari pergaulan.
Karena keamanan kampung tidak
berhasil mengungkap siapa pelaku yang menculik gadis-gadis itu, kepala kampung pun
punya inisiatif lain, yaitu mengumpulkan orang-orang pintar, orang sakti, tetua
adat, para datuk dan ulama. Dari lurah, dari gunung, lembah mereka berda-tangan.
Beberapa keluarga korban ikut dihadirkan. Barangkali kehadiran mereka bisa mem-berikan
kontribusi untuk membuat keputusan nantinya. Sidang yang diadakan di surau
kecil itu pun dimulai.
Berbagai pandangan dikemukan.
“Menurut mato batin Ambo, kasus ini termasuk kategori sulit untuk dipecahkan,”
begitu Katik Endah, paranormal dari dusun
Baliak Bukit memulai. “Korban tidak bisa diminta ke-terangannya. Di tempat
kejadian juga tidak ditemukan bukti... .”
“Bapak Kepala Kampung,” Wan
Pulun memotong. “Kok tidak ada bukti! Bukankah si korban itu bisa dijadikan
barang bukti!“
“Maksud Ambo... .”
“Ini menyangkut harga diri,
sampai kapan pun mereka tidak akan mau bicara.”
“Lalu?” tanya kepala kampung.
Hadirin terdiam.
“Mm, maaf,” suara Yek Damang orang pandai
dari dusun Seberang Sungai dengan ragu-ragu memecah sunyi.
“Ya silakan!”
“Saya tidak melihat Pakiah
Yunuih, apa lupa diundang?”
Kepala kampung menoleh ke kiri,
ke arah Katar. Katarlah yang menyebarkan undangan. Katar gelagapan namun dengan
cepat memberikan isyarat kepada kepala kampung. Isyarat yang hanya mereka
berdua yang mengerti.
“Alaa, kita jangan bersandi pada
satu orang!” dengan nada agak kesal kepala kampung menanggapi pertanyaan Yek
Damang.
“Maksud saya, mungkin akan lebih
afdol dengan kehadiran beliau!”
“Nah, kita-kita ini dianggap apa!”
kepala kampung kaget.
“Tanpa mengecilkan arti
kita-kita yang ada di ruangan ini, tapi kehadiran Pakiah Yunuih satu-satunya
sesepuh kampung yang masih ada, masih kita butuhkan,” suara dari kiri ruangan. Seluruh
mata yang hadir tertuju ke arah datangnya suara. Angku Nurdin yang dari tadi
diam sambil menghisap rokok gulungan daun nipah ikut bicara. “Roh jahat itu se-lalu
berawal dari selatan kampung kita. Lupakah kita bahwa lambah yang ada di sana pada awal pendirian kampung ini pernah
dijadikan tempat pembuangan iblis? Pakiah Yunuih tahu persis hal itu! Sebuah
kecerobohan kalau tidak melibatkan beliau.”
“Yang berbuat sekarang ini bukan
iblis, tapi maling,” sebuah suara dari pojok ruangan. “Kita tidak perlu Pakiah
Yunuih!”
“Ya, belum dibutuhkan,” suara
Katik Endah keras. “ Ini kan perbuatan maling kampung-an,” lanjutnya.
“Ya, yang namanya maling pasti
dikuasai iblis,” dengan nada meledek sehingga memancing gelak tawa hadirin.
“Sudah! Sudah, dalam situasi
begini kalian masih bisa saja tertawa,” kepala kampung me-nengahi pembicaraan.
“Bukannya jalan keluar yang kalian kemukakan, malah melontarkan kalimat-kalimat
yang tidak jelas. Ya sudah, percuma mengundang kalian. Kasus ini saya am-bil
alih saja. Namun sebagai perpanjangan tangan, saya mohon kesediaan Saudara
Katik Endah untuk memimpin di lapangan.” Tiba-tiba ruangan surau yang kecil itu
ramai oleh suara. Hadirin saling berbisik kepada orang yang duduk di samping
kiri atau kanan mereka. Keputusan itu mengagetkan. Yang lebih pantas menurut
mereka adalah kalau tidak Yek Damang atau malah Angku nurdin. Kesepuhan mereka
tidak bisa diragukan lagi. Namun ini adalah keputusan kepala kampung, mereka
tidak berani protes. Padahal mereka semua tahu siapa itu Katik Endah. Di
usianya yang masih muda itu tentu saja pengalamannya masih dangkal. Mendapatkan
kepercayaan, Katik Endah memperlihatkan kemenangan. Hidungnya yang lebar itu
pun semakin mekar.
“Maaf, Kepala Kampung, “ sebuah
suara yang berat terdengar dari arah kanan ruangan. Seorang lelaki tua, kulit
pipinya keriput, botak, janggutnya panjang, mata tersuruk ke dalam, namun bola
matanya seperti sepasang mata kobra. Beliau adalah Sorak, seorang dukun dari
dusun Patuih Kiramaik. Suara gemuruh pun reda seketika. “Saya tidak meragukan
kemam-puan Katik Endah, namun bolehkah saya
mengabdikan diri dalam tim ini?” Sorak bicara agak malu-malu, dari matanya
terlihat ia memang berharap untuk dapat masuk tim pimpinan Katik Endah.
“Ya boleh, “ kepala kampung
tersenyum. “Tapi harus satu kata, jangan menggunting dalam lipatan. Bukan
begitu para ulama?” Ulama yang hadir
malam itu hampir serentak mengangguk.
Pertemuan usai. Undangan berarak
pulang. Sambil pulang orang-orang sibuk mendis-kusikan penunjukan Katik Endah.
Kemampuan Katik Endah diragukan untuk dapat me-nuntaskan kasus ini. Bahkan
sebagian ada yang mencibirkan keputusan yang dibuat oleh pimpinan mereka.
“Lihat saja nanti, kalau kasus ini tuntas, potong kuping saya,” kata Yek Damang sambil
memegang daun kupingnya yang sebelah kiri kepada teman-teman seper-jalanannya. “Sorak
itu lebih tepat disebut si tukang santet daripada mengobati orang!”
“Jangan-jangan ada konspirasi
lain dibalik penunjukan Katik Endah,” yang lain menim-pali.
Suasana kampung tidak juga
kunjung lepas dari bayang-bayang ketakutan. Walaupun sudah beberapa pekan tim
bentukan kepala kampung itu bekerja, hasilnya belum terlihat. Sebulan sudah,
malah ada peristiwa yang paling mengejutkan. Sekarang ada kecendrungan pelaku
memperluas mangsanya. Bukan hanya gadis, tapi janda. Tercatat, Limah, janda di-tinggal
mati almarhum Wan Sarun, ditemukan oleh sekelompok warga di bawah pohon Sagu
Pak Sabas. Posisi badannya tengkurap, seperti biasa kondisinya lemas. Tidak ada
kata-kata yang bisa didengar dari Limah sebagai petunjuk siapa kira-kira yang membawa
dia ke sana. Tim yang dipimpin Katik Endah datang ke lokasi. Hanya bisa
manggut-manggut dan tanpa mendapatkan petunjuk apa-apa untuk membuka tabir
persitiwa itu.
Ketakutan warga semakin
menjadi-jadi. Sebagian bapak-bapak malah ada yang berse-loroh, “Sekarang janda,
jangan-jangan istri-istri kita nanti yang mereka boyong dari bilik rumah kita
saat kita tidur. Cilako tigo baleh!”
Karena tim bentukannya tidak
efektif, kepala kampung mengambil inisiatif untuk menga-dakan pertemuan lagi.
Orang-orang yang diundang pada pertemuan pertama dipanggil kem-bali. Kali ini
pertemuan dihadiri oleh banyak warga. Warga sangat penasaran kira-kira kepu-tusan
penting apa yang akan diambil oleh kepala kampung kali ini. Apakah masih tidak
me-ngindahkan pendapat dan suara warga dalam proses pengambilan keputusan, atau
bertindak ceroboh dengan tim palai badah
kosong di bawah komando Katik Endah? Namun
baru saja kepala kampung ingin memulai pertemuan, tiba-tiba masuklah sepasang
suami istri. Mereka menyeruak di antara hadirin, dan meratap di hadapan kepala
kampung. Tidak begitu jelas apa yang disampaikan pasangan itu karena isak
tangisnya menggetarkan bibirnya saat bicara. Orang-orang yang duduknya paling
dekat dengan kepala kampung, hanya dapat menangkap sepotong kalimat bahwa anak
gadisnya yang tadi usai salat Magrib tiba-tiba menghilang. Pe-ristiwa ini
membuat suasana pertemuan menjadi kacau. Dan akhirnya, dengan suara keras
kepala kampung berteriak, Bapak-bapak, Ibu-ibu semua, malam ini mari kita
berjaga, tidak seorang pun warga boleh tidur kecuali wanita hamil dan balita,
kita amankan setiap jengkal kampung kita. Temukan anak gadis Bapak Ibu ini!”
“Yaaa, kita basmi kejahatan!”
Begitu sambut orang-orang. “Apa sih yang diinginkan oleh maling kampungan yang bejat
itu?” suara yang lain tak kalah lantangnya sambil mengepalkan tinju. Jadilah
malam itu malam yang sibuk. Namun seperti biasa, menjelang pagi barulah anak
gadis yang dicari itu ditemukan tergolek di pondok ladang jagung Pak Samiak.
***
Satu tahun hampir! Kekacauan yang menimpa
kampung itu tak sempat juga terpecahkan. Inisial maling juga belum diketahui. Terhitung
hampir enam gadis, tiga janda, satu berstatus istri warga sudah menjadi
korbannya. Seperti itu catatan yang bisa kita baca di kantor kepala kampung. Bahkan berita yang
menggegerkan adalah salah seorang gadis yang pernah jadi korban maling itu,
sekarang ini tengah hamil. Nah, lho, mengandung
anak siapa? Sebuah aib besar tentunya bagi keluarga yang ditimpa namun lain
dengan ketua tim bentukkan kepala kampung. Ia berharap anak yang dikandung
gadis malang itu bisa lahir dengan selamat. Mungkin ada saja tanda yang bisa
dibaca melalui orok yang lahir itu sebagai petunjuk. Sayang memang, bayi itu
sudah muncul di dunia ini di saat kehamilan belum sempurna. Lahir prema-tur! Katik
Endah sibuk memeriksa orok yang lahir tanpa nyawa itu. Namun ia kembali gagal
menemukan petunjuk pemecahan kasus ini. Di sisi lain, berkembang isu yang
menghebohkan. Adalah Mak Oon, dukun beranak yang membantu proses persalinan itu
sebenarnya melihat ciri berupa tando
hitam di daun telinga sebelah kanan si bayi. Kalau begitu, siapa yang benar ni!
Opini masyarakat pun terpecah.
Tando
hitam! Mungkinkah itu warisan dari ayah biologisnya?
Semua warga sibuk
membicarakannya, bahkan tanpa mereka sadari, mereka telah sibuk memeriksa daun
telinga mereka sendiri, saudara, tetangga dan tamu laki-laki yang sempat berkunjung
ke kampung mereka.
“Tidak akan pernah ditemukan tando hitam itu.”
“Kok begitu!”
“Kalau ambo katakan tidak, ya tidak. Memang kalian berani memeriksa daun
telinga kepa-la kampung kita,” begitu suara Yek Damang lancang di warung kopi
Mak Noma pagi itu.
“Lho, mengapa harus daun telinga
kepala kampung?”
“Semua orang kampung, termasuk orang
yang lalu lalang di kampung kita, sudah diperik-sa, tidak ditemukan tando itu. Satu-satunya yang belum ya
kepala kampung.“ Yek Damang bicara serius. Orang-orang yang hadir di situ saling
berpandangan.
“Apa mungkin... .”
“Pertanyaan kalian nah di situ
ada jawabannya, “ Yek Damang tersenyum renyah, semen-tara tangan kanannya
mengacung ke timur, ke arah puncak bukit Barisan nan menghijau. “Ni, nasi katan satu, kopi segelas, dan
pisang goreng tiga, “ sambil menaruh uang sepuluh ribuan di meja warung kopi
Mak Noma. Selanjutnya Yek Damang mengurai langkah menuju arah timur.
Orang-orang hanya saling berpandangan menatap kepergian Yek Damang.
Neroktog, September 2011
pada awal cerita memang agak membingungkan,karena pembaca tidak tahu siapakah pelakunya. tetapi diakhir cerita diberikan jawaban yang mana pembaca dapat mengira-ngira pelakunya.dalam cerita juga diajarkan bermusyawarah dalam memecahkan masalah,yg mungkin jarang kita temui pada saat ini.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusCerita yang sungguh menarik , membuat pembacanya tertarik menuju inti daripada cerita tersebut , walaupun terkadang bahasa yg di gunakan dalam bahasa tersebut agak sulit untuk di mengerti di tambah lagi dengan penggunaan bahasa daerah yang mungkin sebagian sulit untuk memahami , tetapi itu menjadi sebuah ciri ketertarikan pembaca dalam cerita tersebut , di dalam cerita kita juga dapat menyimpulkan bahwa kita harus menyelesaikan sebuah masalah dengan musyawarah walaupun sangat sulit untuk mencari hasil dari musyawarah tersebut , di dalam cerita itu juga di sebutkan bahwa musyawarah dilakukan selama berbulan-bulan tanpa mendapatkan hasil , tetapi pembaca dapat menyimpulkan bahwa bukti terakhir pelaku kejahatan adalah sang kepala kampung sendiri walupun sangat mustahil untuk di buktikan .. Terimakasih
BalasHapusAhsan Abdul Kholis
XII IPS 3
mungkin menurut dari cerita ini kita tidak bisa menyebutkan satu persatu tokoh yang ada dalam cerpen ini. Ada kalimat tidak langsung dan langsung yang membingungkan. Ada kata-kata yang membuat orang awam mungkin tidak mengerti, seperti 'Celako Tiga Baleh' itu bahasa minang, kebetulan saya juga orang minang dan dapat mengerti hehe. Selebihnya sudah cukup bagus cerpennya,alur konflik yang menegangkan membuat pembaca pasti bertanya-tanya siapa pelakunya dan banyak amanat yang disampaikan cerpen ini.
BalasHapusSalah satunya, perempuan harus berhati-hati dalam segala hal, jangan berpergian pada malam hari karena itu berbahaya.
Dicky Nurrahman
XII IPS 3
1. Pesan bagi para wanita , bahwa tidak "diizinkan" untuk keluar malem karena bahaya bagi dirinya sendiri. Dan tidak memakai pakaian yang mengandung "nafsu" para lelaki
BalasHapus2. Bercerita tentang seorang gadis yang terkena musibah pemerkosaan
3. Tokohnya
-Rubiah
-Katik Endah
-Wan Pulun
-Yek Danang
-Sorak
-Angku Marin
-Pak Lakik
-Katar
4.Akan membicarakan secara musyawarah ,terus "mengaktifkan" berjaga malam (ronda malam), dan apabila terjadi kejadian yang sama, akan diusut tuntas dan akan mencari pelaku nya sampai ketemu
Ewa Hilal Kamaluddin
Xii ips 5
1. Pesan bagi para wanita , jangan pulang larut malam dan tidak memakai pakaian yang mengundang nafsu lelaki
BalasHapus2. Bercerita tentang seorang gadis yang terkena musibah pemerkosaan
3. Tokohnya
-Rubiah
-Katik Endah
-Wan Pulun
-Yek Danang
-Sorak
-Angku Marin
-Pak Lakik
-Katar
4.Akan membicarakan secara musyawarah ,lalu mulai berjaga malam, setelah itu jika pelaku tertangkap langsung diadili seadil adilnya dengan cara kemanusiaan
Indrajaya Prasetya
XII IIS 5
Nama : Alfarizqi Wisnu Adji
BalasHapusKelas : XII IIS 5
Pertanyaan dijawab pada hari ini :
Kamis 13 Oktober 2016
1. Pesan yang disampaikan penulis adalah kejahatan bisa saja datang dari orang-orang yang selama ini kita anggap baik dan terhormat dan juga bahwa masih ada orang yang menutupi kejahatan ini dengan menggunakan kekuasaan yang mereka punya.
2. Cerita ini menceritakan tentang kejahatan yang bisa menimpa kaum perempuan dan merendahkan harga diri warga yang tidak bersalah.
3. Kepala Desa(baik,licik), Katik Endah(baik,menghormati sesepuh), Yek Damang(bijaksana), Dukun(Hebat).
4. Saya akan berlaku jujur kepada setiap warga dan meminta maaf kepada keluarga saya atas perbuatan yang saya lakukan dan menyerahkan diri kepada warga