Senin, 10 September 2012

Secangkir Kopi Raudah


Secangkir Kopi Raudah
                                                                Oleh Afrizal

      Pantai sepi. Angin tipis dan kemudian menghilang di dedaunan. Sementara itu langit sebelah barat semakin merona merah. Air laut berkilau keemasan. Dan, masih terlihat sekelompok burung camar berterbangan di atas permukaan air mengintai ikan-ikan kecil. Kadang burung-burung itu terbang men-dekat ke pantai, kadang menjauh sehingga terlihat seperti titik hitam yang berpindah-pindah. Ada juga perahu nelayan, di beberapa tempat, mengayun sesuai dengan irama gelombang air. Walaupun senja akan bermula tapi cahaya matahari masih sempurna sehingga menyilaukan mata dan membuat perih di kulit.
     Aku sengaja berlindung dari kejaran sinar matahari di balik pohon pidada yang satu-satunya tum-buh di pinggir pantai ini. Pohon itu bak raksasa, akar-akarnya mencengkeram dalam ke tanah. Dedau-nannya rindang menghijau, menempel di ranting dan dahan-dahannya yang perkasa. Pada pokok po-hon itulah perahuku ditambatkan. Kini, perahu itu pesakitan. Kepalanya patah dihantam ombak.
      Dulu, perahu cadik itu pun pernah pesakitan seperti ini. Malah kondisinya lebih parah. Badannya terpotong dua bagian. Separuhnya hanyut terbawa arus air. Sekian lama aku tidak bisa melaut. Sampai akhirnya aku melihat pohon nangka di halaman rumah Emak Limah, tetangga jauhku yang masih ter-masuk kerabat Bapak. Dari pohon itulah perahu itu disambung kembali. Tapi sekarang, masihkah pohon itu ada? Senja ini aku akan ke sana. Sudah lama juga rasanya tidak bersilahturahim dengan Emak Limah. Waktu Bapak masih ada, aku sering diajak bertandang ke sana.
     Setelah mematok-matok di bagian mana dari perahu itu yang rusak, perlahan aku mulai meninggal-kan pinggir pantai. Sementara itu, angin berhembus, menyapu wajah dan menyibakkan rambut di dahiku. Sebentar lagi angin akan berputar arah, dari darat ke laut, menjadi angin darat. Aku segera mempercepat langkahku.
     Matahari telah tenggelam sepenuhnya saat aku menapaki halaman rumah Emak Limah. Dari teras rumah, aku dapat melihat cahaya lampu tempel melalui cela dinding palupuah itu.  Ada bayangan orang yang sedang melintas menuju pintu. Sepertinya orang yang ada di dalam rumah sudah menge-tahui keberadaan tamunya. Mencicit pintu tua itu dibuka. Dan, seorang perempuan muda, Raudah, masih mengenakan mukena-mungkin usai salat Magrib, sudah berdiri di pinggir pintu. Raudah adalah cucu Emak Limah. Baru kali ini aku melihat wajah Raudah dari dekat. Orang-orang,  para pemuda di kampung kami, sering memperkatakannya. Kecantikan dan keelokan budinya melebihi gadis-gadis lain di desa ini. Lihat saja, hidungnya bangir. Kulitnya coklat. Bibirnya merah merekah. Aku hampir tak berkedip menatapnya.
     “Mm, Udo Sarmin!” katanya agak tergagap.
     Aku segera menyadari telah membuatnya sedikit gugup. “Ada Emak!”
     “Lho kok mencari Emak, kan ada ...,” Raudah tersenyum membuang canggungnya. “Oya, aku juga turut prihatin atas peristiwa yang menimpa Udo kemarin. Seisi kampung membicarakan peristiwa itu.”
     “Risiko seorang nelayan Raudah.”
     “Iya Udo, tapi kalau bukan Udo, mungkin belum tentu selamat, begitu cerita orang-orang. Orang-orang itu tidak salah, lihatlah kedua tangan Udo begitu kuat. Otot-ototnya menonjol.”
     “Bisa saja Raudah. Udo jadi malu.”
    Begitu mempersilakan masuk, aku dibawa oleh Raudah ke bilik tempat Emak Limah terbaring. Aku menyampaikan maksudku.  
     “Ambillah, Min. Tapi jangan lupa, kaurapikan cabang-cabang yang menjuntai ke dapur. Emak takut kalau dahannya akan menimpa rumah Emak. Kasihan Raudah, nanti dia tinggal di mana bersama suaminya.”
     Aku mengangguk. Raudah tersenyum ke arahku. Satu kata Emak Limah menohok jantungku, sua- mi! Apakah Raudah sudah ada yang melamar? Berita sekecil apa pun akan cepat tersiar di kampung ini, tidak terkecuali acara lamaran! Kalau memang iya, siapa lelaki yang beruntung itu? Jantungku tiba-tiba berdetak tak keruan. Darah mengalir cepat di nadiku. Aku patut-patut wajah Raudah dite-rangnya cahaya lampu tempel yang tertancap di dinding palupuah, gadis itu tertunduk, di saat yang sama diam-diam rupanya mata Raudah juga mencoba mencuri pandang ke arahku. Tatapan kami berbenturan.
     Setelah pamit pada Emak Limah, Raudah mengantarkanku sampai ke pintu. Gadis itu berjalan persis di sampingku. Tak sengaja tangan kanannya menyentuh lengan kiriku. Halus kulitnya seakan menyetrum sampai ke jantung. Raudah sepertinya juga memberikan reaksi. Tanpa sengaja pandangan mata kami bertemu. Terang matanya tertangkap sepenuhnya olehku. Entah magnet apa yang ada di situ, aku merasa ingin berlama-lama menatapnya. Akhirnya sesungging senyum Raudah menyadar-kanku. Cepat-cepat kualihkan pandangan ke arah lain untuk membuang malu. Malu, seorang lelaki yang sudah berkeluarga seperti aku masih saja jelalatan melihat perempuan lain.
     Di luar gelap telah sempurna. “Tengok-tengoklah Emak ke sini, Do Sarmin,” suara Raudah.
     Sekali lagi aku menatapnya tapi tidak berani lama, lalu mengangguk. Selanjutnya, setapak demi setapak aku mulai meninggalkan pekarangan rumah Emak Limah. Begitu kakiku sampai di jalanan setapak, aku sempatkan menoleh ke belakang. Rupanya Raudah masih saja berdiri mematung meman-dang ke arahku. Ia melambaikan tangan. Sejurus kemudian, barulah ia  menutup pintu itu rapat-rapat. Aku pun mempercepat langkah meninggalkan rumah Emak Limah.
     Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah berada di belakang rumah Emak Limah. Dengan se- buah kampak, cabang pohon nangka yang mengarah ke dapur,  aku pangkas. Kemudian memotong-motongnya dengan ukuran panjang empat puluh sentimeter. Kalau nanti potongan-potongan kayu itu sudah kering, dibelah dijadikan cadangan kayu bakar. Pagi-pagi aku sudah bersimbah keringat. Ke- mudian menyusun potongan-potongan kayu itu di samping dapur. Dari arah dapur asap terlihat me- ngepul. Mungkin Raudah sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan pagi untuk Emak Limah. Aku sibuk meneliti setiap cabang pohon nangka. Mencari cabangnya yang sudah tua dan lurus.
     “Do, ni kopinya.”
     Dari arah dapur, Raudah dengan sebuah baki membawa secangkir kopi. Sungguh beda penampi-lannya dibandingkan dengan sore kemarin. Rambutnya yang panjang itu dikuncir ke belakang. Ada polesan bedak di wajahnya, tipis dan rapi. Pakaian yang dia kenakan bukanlah pakaian rumah. Celana jeans dan kaos putih lengan panjang. Sebuah selendang putih mengalungi lehernya.
     “Sudah dapat yang dicari,” lanjutnya sambil menaruh cangkir kopi itu pada sebuah meja kecil tak jauh dari sisi sebelah kiri pohon nangka. Asap masih mengebul dari  cangkir kopi itu. Aroma khas kopi menyentuh hidungku, membangkitkan selera untuk segera menyeruputnya.
     “Sulit juga ya mencari yang sesuai selera.”
     “Bukan selera, tapi kebutuhan.”
     “Memang beda?”
     “Tipis. Sebenarnya hampir semua cabang sudah memenuhi syarat, cuma risikonya harus dimini- malkan. Itu yang sebelah situ cocok, lurus, sudah tua, nah kalau dipotong bisa menimpa bilik Emak.”
     “O, jangan .... “
     “Sementara cabang yang sebelah sini kalau dipotong jatuhnya nanti arah barat, paling kandang ayam yang dipojok sana terkena ranting dan daunnya. Kecil risikonya, sayangnya belum terlalu tua, cepat lapuk.”
     “Tidak sembarangan ya,” Raudah menimpali. Sepertinya dia sudah mulai paham tentang apa yang dimaksud.
     “Cari yang risikonya kecil saja, Do!”
     “Nah itu!”
     “Kalau yang ini!”
     “Yang mana?”
     “Ya Udo, melihatnya selalu ke atas.”
      “Mana, ... “ Aku mengubah arah pandanganku ke arah posisi Raudah berdiri. Sepintas aku masih menangkap posisi ibu jari tangan kananya masih menunjuk ke badannya yang terlambat ia tarik. Be- gitu menyadari, kemudian ia tersenyum malu.
     “Apa boleh?”
      “Jangan tunggu kopinya dingin Udo,”  ucapnya sambil berlalu ke arah dapur tanpa menghiraukan tanyaku.
     Setelah mendapatkan cabang yang tepat, aku memotong dan mulai mengolahnya. Membutuhkan waktu beberapa hari untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Aku ingin perahu itu cepat selesai, makanya pagi-pagi sekali dalam beberapa hari aku sudah berada di belakang rumah Emak Limah. Dan, setiap pagi juga Raudah direpotkan dengan menyuguhkan secangkir kopi panas untukku. Kadang dia ikut menemaniku sambil juga menikmati secangkir kopi. Itu sudah berlangsung empat hari.Namun hari ini, hari kelima, tidak terlihat asap mengepul seperti biasanya di dapur Emak Limah. Dan, sudah hampir jam sembilan pagi, secangkir kopi itu juga belum hadir. Semua pintu dan jendela rumah Emak Limah tertutup rapat. Kemanakah Raudah dan Emak Limah? Tiba-tiba perasaan kehilangan itu menelusup di hatiku. Wajahnya Raudah, senyumnya, suaranya, dan kopi hitam yang khas itu. Tidak seorang pun yang bisa menyeduhkan kopi pas dengan seleraku selain almarhum Emak. Namun Raudah, seduhan kopi oleh tangannya yang lembut itu begitu pas di seleraku.
***
     Raudah masih menangis. Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan pemakaman itu. Aku ber- diri mematung tak jauh dari posisi Raudah yang sedang bersimpuh pada pusara Emak Limah. Aku sangat memaklumi kesedihannya. Dengan kepergian Emak Limah, dia akan tinggal sebatang kara.
     “Raudah, sebentar lagi malam datang, ayolah kita pulang,” ajakku.
     Gadis itu menoleh. Matanya sembab. Kedua pipinya basah. “Rasanya aku tidak kuat menghadapi hidup ini tanpa Emak.”
     “Kan ada ... .”Aku tidak melanjutkan kalimatku karena secara spontan Raudah melirik ke arahku. Aku yakin Raudah pasti sudah tahu arah bicaraku.
     “Maksud Udo ... .”
     “Kalau bersama Udo masih juga tidak kuat?”
     “Bersama Udo!”
     “Ya.”
     “Bukankah sudah ada Uni Rabiah, maaf, Udo.”
     “Tapi ... .”
     “Apa kata orang-orang nantinya Udo, Raudah me ... .”
     “Entahlah, Udo juga tidak habis pikir. Tapi benar, Udo tidak bisa melupakan secangkir kopi yang Raudah seduh.”
     “Apa, Udo!”
     “Ramuan dari dukun mana yang kautaburkan di cangkir kopi itu sehingga membuat aku selalu memikirkanmu?”
     “Ramuan!”
     “Ya, ramuan. Sudah banyak kedai kopi yang kusinggahi tapi aku tak menemukan senikmat kopi yang Raudah seduh.”
     “Maksud Udo!”
     “Secangkir kopi dari Raudah setiap pagi, itu yang udo mau.”
      Raudah menengadakan wajahnya. “Lalu, Uni Rabiah!”
      “Semenjak angin laut tidak lagi bersahabat pada nelayan di kampung kita, semenjak itu pula dia meninggalkan Udo. Dia pulang ke rumah orang tuanya. Beberapa kali Udo mencoba mengajaknya kembali ke rumah tapi sepertinya ia sudah tidak mau. Bahkan kabar terakhir yang Udo dengar, ia sudah berangkat ke negeri seberang mencari pekerjaan. Mungkin sulit menggantungkan hidup dari seorang nelayan seperti Udo ini Raudah.”
      Senja sudah turun. Burung-burung mayang yang berterbangan dari ranting ke ranting di pemaka-man, sesekali memperdengarkan kicauannya. Mungkin burung-burung itu juga bermaksud menghibur hati kami yang sedang berduka saat ini. Raudah berdiri. Menatapku sebentar. Sesaat kemudian, ia menggamit lenganku. Ia mengajakku melangkah. Langkah-langkah kami pelan namun setapak demi setapak kami semakin menjauh dari pemakaman umum itu. Sambil melangkah, Raudah memeluk lengan kiriku dengan erat!

       

                                                                                                                             Neroktog, 181011
     
       

    
    
    


17 komentar:

  1. ciri cerpenis yang ngegambarin suasana banget nih .
    kirain awalnya cerita tentang Emak Limah yang keadaannya sengsara atau iba , eh ternyata tentang Raudah -___- ternyata raudah nama orang kirain nama kopi nya .

    EndinSK/XII/A/3

    BalasHapus
  2. Bapak nulis cerpen ini idenya dari kampung halaman Bapak yah (kalau menurut saya sih kalau salah tolong di maklumi ya pak) sangat bagus kombinasi antara pengalaman diri sendiri dengan mengubah atau memasukan suasana yang sungguh berbeda cuma pas Udo Samin selesai beres-beres rumah disitu tidak dijelaskan kenapa Emak Limah meninggal

    bahasa Minang yang sungguh kental tapi dibuat masih dalam bahasa yang mudah dimengerti membuat cerpen ini dimengerti oleh pembaca

    sesekali Bapak bikin cerpen seperti ini lagi cuma dikemas dalam bentuk modern seperti kehidupan sehari-hari yang Bapak pernah bilang pas mengajar di kelas sesuai dengan pengalaman diri sendiri atau orang lain walaupun mungkin Bapak sudah tidak bikin puisi & cerpen seperti ini / masih rahasia disimpan di laptop Bapak hehehe

    BalasHapus
  3. dari cerpen diatas ada kalimat pengulangan yang tidak dimengerti seperti "aku patut-patut wajah raudah diterangnya" dan dari cerpen diatas terdapat kalimat yang tidak seharusnya diberi tanda (-) seperti su-ami, mukena-mungkin dll.
    dari cerpen diatas yang saya sudah baca saya ada yang tidak mengerti dengan kalimat pada cerpen tersebut "menohok", "mencict", "palupuah","dan "pesakitan".
    intan delima XII IPA 4

    BalasHapus
  4. Setelah membaca cerpen di atas, ada beberapa hal yang menurut saya perlu diperbaiki. Kalimat "Sebentar lagi angin akan berputar arah, dari darat ke laut, menjadi angin darat" bisa dikatakan janggal. Saya dapat memahami bahwa kalimat tersebut bermakna "malam akan menjelang", tetapi secara teoritis proses pergantian angin laut menjadi angin darat memakan waktu selama tiga jam. Jadi, akan lebih tepat bila kalimat tersebut diubah menjadi "Sebentar lagi angin dari laut ini akan berhenti dan kemudian berputar arah menuju laut kembali."
    Kemudian pada saat membaca kalimat "Kemudian memotong-motongnya dengan ukuran panjang empat puluh sentimeter. Kalau nanti potongan-potongan kayu itu sudah kering, dibelah dijadikan cadangan kayu bakar" saya merasa misinterpretasi dengan pemikiran penulis. Awalnya saya mengira bahwa Udo Sarmin memotong bagian-bagian pohon tersebut untuk menjadikan potongan-potongan kayu tersebut sebagai pengganti bagian perahunya yang rusak. Tetapi pada kalimat yang saya kutip di atas justru sama sekali tidak menunjukan Udo Sarmin akan menggunakan kayu tersebut untuk memperbaiki kapalnya. Bahkan saya kembali membaca paragraf-paragraf awal untuk memeriksa apakah saya salah tanggap. Hingga akhirnya pada paragraf-paragraf selanjutnya saya memahami bahwa Udo Sarmin menggunakan kayu tersebut untuk memperbaiki kapalnya sekaligus juga membuatkan cadangan kayu bakar untuk Emak Limah.
    Di luar kelemahan-kelemahan tersebut, cerpen ini memiliki beberapa kelebihan yang layak diapresiasi. Plot yang tidak membosankan, yang menunjukan penulis sudah fasih membuat cerpen. Perwatakan yang digambarkan cukup jelas ditambah dengan latar suasana yang tepat, membuat pembaca dapat membayangkan langsung situasi dalam cerpen.

    Riyan Nugroho XII IPA 4

    BalasHapus
  5. 1) Menurut saya penulis ingin menyampaikan beberapa pesan yang terdapat dalam cerita tersebut yakni, kisah raudah yang jatuh cinta terhadap seorang nelayan sederhana yang baru saja ditinggalkan istrinya, walaupun dalam kondisi sulit sekalipun raudah tetap menerima udo sarmin

    2) Bercerita tentang seorang nelayan yang jatuh cinta kepada seorang kembang desa yang bernama raudah, tak disangka raudah si gadis desa juga memiliki perasaan yang sama. lewat secangkir kopi yang dibuat raudah itu lah udo sarmin mengungkapkan sebesar apa perasaan cintanya kepada raudah.

    3) Udo Sarmin : gagah, kuat, sopan
    Raudah : pemalu, baik, sopan
    Mak limah : baik

    4) tindakan yg akan saya lakukan jika menjadi pemeran utamanya adalah saya akan tetap mengutarakan rasa cinta saya kepada raudah, tetapi sebelum saya melamar raudah saya akan menyelesaikan masalah saya dengan istri saya dulu sampai selesai.



    Laksmidra Qurin XII IIS 5

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. 1) Menurut saya penulis ingin menyampaikan beberapa pesan yang terdapat dalam cerita tersebut yakni, kisah raudah yang jatuh cinta terhadap seorang nelayan sederhana yang baru saja ditinggalkan istrinya, walaupun dalam kondisi sulit sekalipun raudah tetap menerima udo sarmin

    2) Bercerita tentang seorang nelayan yang jatuh cinta kepada seorang kembang desa yang bernama raudah, tak disangka raudah si gadis desa juga memiliki perasaan yang sama. lewat secangkir kopi yang dibuat raudah itu lah udo sarmin mengungkapkan sebesar apa perasaan cintanya kepada raudah.

    3) Udo Sarmin : gagah, kuat, sopan
    Raudah : pemalu, baik, sopan
    Mak limah : baik

    4) tindakan yg akan saya lakukan jika menjadi pemeran utamanya adalah saya akan tetap mengutarakan rasa cinta saya kepada raudah, tetapi sebelum saya melamar raudah saya akan menyelesaikan masalah saya dengan istri saya dulu sampai selesai.



    Laksmidra Qurin XII IIS 5

    BalasHapus
  8. 1. Si penulis menyapaikan betapa kentalnya bahasa minang yang dipakai dalam cerita tersebut,suasana, dan tempat juga sangat pas.

    2. Sebuah cerita tentang Udo sarmin seorang nelayan yang jatuh cinta kepada gadis cantik bernama raudah.

    3. Udo Sarmin : Sopan, pemalu, gagah
    Raudah : Pemalu, rajin, baik hati
    Emak Limah : Lemah Lembut, baik hati

    4. Tindakan yg akan saya lakukan jika menjadi pemeran utamanya adalah saya selalu bekerja keras walau sedang sesulit apapun, dan selal bermanfaat bagi orang lain. selalu menjaga wanita pilihannya.

    BalasHapus
  9. Mengajarkan kita untuk selalu bersabar untuk mendapatkan sesuatu, dalam cerita ini digambarkan sebagai seorang nelayan yang melaut untuk mencari ikan dan banyak risiko yang harus ia hadapi seperti ia harus mempertaruhkan nyawa menghadapi badai dan resiko kapal rusak karena ombak dan harus berhenti melaut beberapa hari untuk memperbaiki kapalnya. Mengajarkan kita untuk tegar dalam melanjutkan hidup saat seseorang yang kita sayangi dan yang telah mengisi hidup kita selama bertahun tahun pergi meninggalkan kita disaat kita mengalami kesulitan. Mengajarkan kita untuk menghargai dan menghormati suatu hubungan yang kita bina.
    Bercerita tentang seorang nelayan yaitu udo sarmin yang begitu sabar, tegar, semangat,dan juga dilemanya dalam kisah cintanya dengan raudah sang kembang desa yang sangat cantik jelita dan juga menjadi dambaan setiap pria di kampungnya.
    #Udo sarmin = sabar,tegar,semangat yang tinggi,pantang menyerah,malu,tapi juga kurang bertanggung jawab terhadap istrinya.
    #rabiah = mudah putus asa, namun karena keadaan yang memasaknya untuk meninggalkan suaminya
    #raudah = baik hati,sopan,ramah.
    #emak limah = baik, ramah.
    Udo sarmin harus bisa berbicara pada istrinya rabiah untuk memutuskan hubungan mereka sebelum ia menikah lagi dengan raudah karena masa depannya akan banyak masalah yang berhubungan dengan masa lalunya yang belum selesai, memperbaiki hidupnya agar lebih layak supaya kejadian ketika rabiah meninggalkannya tidak terulang kepada raudah. Agar kehidupan mereka bahagia, aman, dan tentram dalam membina suatu hubungan yang baru.

    FENI TOFIA SRI PURWANINGSIH
    XII IIS 5

    BalasHapus
  10. 1. pengalaman menjadi seorang nelayan dan merasakan jatuh cinta kepada gadis yang bernama raudah, karena istrinya meninggalkan nya dengan faktor ekonomi berbeda dengan raudah yang menerima kondisi sulit udo sarmin

    2. seorang nelayan yang merasakan jatuh cinta kepada seorang gadis kembang desa yang telah memikat hati udo samin dengan secangkir kopi yang dibuat olehnya

    3. mak limah : baik
    udo sarmin : gagah dan sopan
    raudah : pemalu, baik dan sopan

    4. saya akan menyelesaikan permasalahn saya dengan istri saya terdahulu, kemudian saya menikahi raudah

    TASYA NURUL FEBRIANTI
    XII IIS 5

    BalasHapus
  11. Nama : Amanda Sagita Rahmadani
    Kelas : XII.IPS2


    1. - Udo Sarmin
    - Emak Limah
    - Raudah

    2. - Udo Sarmin : kuat
    - Raudah : cantik
    - Emak Limah : tua

    3. - Udo Sarmin, kuat (iya Udo, tapi kalau bukan Udo, mungkin belum tentu selamat, begitu cerita orang-orang. Orang-orang itu tidak salah, lihatlab kedua tangan Udo begitu kuat, otot-ototnya menonjol).
    - Raudah, pemalu (Aku mengubah arah pandanganku kearah posisi Raudah berdiri. Sepintas aku masih menangkap posisi ibu jari tangan kanannya masih menunjuk ke badannya yang terlambat ia tarik. Begitu menyadari, kemudian ia tersenyum malu).
    - Emak Limah, baik hati (Ambillah, min. Tapi jangan lupa, kau rapikan cabang-cabang yang menjuntai kedapur. Emak takut kalau dahannya akan menimpa rumah Emak. Kasihan Raudah, nanti dia tinggal dimana bersama suaminya).

    4. - Sudut pandang orang pertama, sudut pandang ini biasanya menggunakan kata ganti "aku" atau "saya". Dalam hal ini pengarang seakan-akan terlibat dalam cerita dan bertindak sebagai tokoh cerita.

    5. Bercerita tentang seorang nelayan yang jatuh cinta kepada seorang kembang desa yang bernama Raudah, tak disangka Raudah si gadis desa juga memiliki perasaan yang sama kepada Udo Sarmin. Lewat secangkir kopi yang dibuat Raudah itulah Udo Sarmin mengungkapkan sebesar apa perasaan cintanya kepada Raudah.
    Seorang nelayan yang bernama Udo Sarmin yang barusaja ditinggalkan istrinya. Walaupun dalam kondisi sulit sekalipun Raudah tetap menerima Udo Sarmin.

    BalasHapus
  12. SHINTIA MAULINA
    XII IPA 6


    1.) Ada seseorang nelayan memiliki perahu, ia menepi kepinggir pantai. Ini sudah kedua kalinya perahunya rusak. Tapi kali ini perahu hanya rusak di ujung nya karena terkena ombak. Lalu ia ingat dahulu ia sering pergi kerumah kerabat ayahnya, Emak Limah. Yang memiliki pohon nangka.

    Lalu ia berkunjung kerumah Emak Limah. Ternyata ada perempuan muda yaitu cucu dari Emak Limah. Yang cantik, ramah serta dipuji warga sekitar. Saat melihat Raudah, Udo Sarmin langsung ada perasaan suka terhadap Raudah, tapi Udo Sarmin sadar bahwa Raudah sudah mempunyai suami. Saat ia sedang membetulkan perahunya yang rusak ternyata Raudah selalu membuatkan kopi untuk Udo Sarmin. Lewat secangkir kopi yang dibuat Raudah itulah Udo Sarmin mengungkapkan sebesar apa perasaan cintanya kepada Raudah. Kemudian setelah beberapa hari ada kabar duka dari rumah Emak Limah. Raudah tak henti-hentinya menangis karena kepergian Emak Limah.

    Dengan rasa ingin menenangkan Raudah, Udo Sarmin menyatakan perasaannya. Tapi Raudah sudah merasa tidak enak dengan keberadaan Uni Rabiah yg masih menjadi istri Udo Sarmin. Lalu udo sarmin menceritakan, bahwa Uni Rabiah sudah meninggalkannya dan pergi ke negeri serbang untuk mencari pekerjaan.

    2.) •Udo Sarmin(aku)
    •Raudah

    3.) Udo Sarmin(aku)
    •Kerja Keras, (Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah berada di belakang rumah Emak Limah. Dengan se- buah kampak, cabang pohon nangka yang mengarah ke dapur, aku pangkas. Kemudian memotong-motongnya dengan ukuran panjang empat puluh sentimeter. Kalau nanti potongan-potongan kayu itu sudah kering, dibelah dijadikan cadangan kayu bakar. Pagi-pagi aku sudah bersimbah keringat. Ke-mudian menyusun potongan-potongan kayu itu di samping dapur.)
    •Kuat, (“Iya Udo, tapi kalau bukan Udo, mungkin belum tentu selamat, begitu cerita orang-orang. Orang-orang itu tidak salah, lihatlah kedua tangan Udo begitu kuat. Otot-ototnya menonjol.”)
    •Sadar diri, (Akhirnya sesungging senyum Raudah menyadar-kanku. Cepat-cepat kualihkan pandangan ke arah lain untuk membuang malu. Malu, seorang lelaki yang sudah berkeluarga seperti aku masih saja jelalatan melihat perempuan lain.)

    Raudah
    •Disiplin, (Dan, seorang perempuan muda, Raudah, masih mengenakan mukena-mungkin usai salat Magrib, sudah berdiri di pinggir pintu.)
    •Perhatian, (Dan, setiap pagi juga Raudah direpotkan dengan menyuguhkan secangkir kopi panas untukku. Kadang dia ikut menemaniku sambil juga menikmati secangkir kopi.)
    •Pemalu,
    (“Mm, Udo Sarmin!” katanya agak tergagap.Aku segera menyadari telah membuatnya sedikit gugup.)
    ( patut-patut wajah Raudah dite-rangnya cahaya lampu tempel yang tertancap di dinding palupuah, gadis itu tertunduk, di saat yang sama diam-diam rupanya mata Raudah juga mencoba mencuri pandang ke arahku. Tatapan kami berbenturan.)

    Emak Limah
    •Baik hati dan peduli, (“Ambillah, Min. Tapi jangan lupa, kaurapikan cabang-cabang yang menjuntai ke dapur. Emak takut kalau dahannya akan menimpa rumah Emak. Kasihan Raudah, nanti dia tinggal di mana bersama suaminya.”)

    Uni Rabiah
    •Tidak bersyukur, (“Semenjak angin laut tidak lagi bersahabat pada nelayan di kampung kita, semenjak itu pula dia meninggalkan Udo. Dia pulang ke rumah orang tuanya. Beberapa kali Udo mencoba mengajaknya kembali ke rumah tapi sepertinya ia sudah tidak mau. Bahkan kabar terakhir yang Udo dengar, ia sudah berangkat ke negeri seberang mencari pekerjaan. Mungkin sulit menggantungkan hidup dari seorang nelayan seperti Udo ini Raudah.”)

    4.) Sudut pandang orang pertama, karena menggunakan kata ganti "aku" sehingga pengarang seakan-akan terlibat sebagai tokoh dalam cerita tersebut.

    5.) •Udo Sarmin(aku) : kuat, otot-otonya menonjol.
    •Raudah : hidungnya bangir, kulitnya coklat, bibirnya merah merekah, rambutnya panjang, cantik dan baik.
    •Emak Limah : sudah tidak kuat menopang dirinya karena sudah tua.

    BalasHapus
  13. Muhammad Rizky Fadilla
    XII IIS 2


    1. Ada seorang pemuda yang berprofesi sebagai nelayan, saat itu kapal yang digunakan ada bagian kepalanya yang pecah, ia pun datang kerumah Emak Limah untuk mengambil akar pohon nangka untuk memperbaiki kapalnya.
    Cucu Emak Limah pun menyambut kedatangan Udo Sarmin dan memanggilnya "Mm. Udo Sarmin" katanya, wanita itu adalah Raudah.
    Saat memperbaiki kapalnya yang berhari-hari, Raudah selalu menyiapkan kopi tiap pagi untuk Udo Sarmin, namun saat pagi tiba Raudah tidak terlihat.
    Nyatanya Emak Limah telah dipanggil Tuhan YME, Udo Sarmin pun menenangkan Raudah yang belum bisa menerima kepergian Emak Limah. Udo Sarmin meminta agar Ruadah selalu dengannya karena Uni Rabiah telah meninggalkan Udo Sarmin sejak lama.

    2. Udo Sarmin

    3. • Raudah, pemalu (Aku mengubah arah pandanganku kearah posisi Raudah berdiri. Sepintas aku masih menangkap posisi ibu jari tangan kanannya masih menunjuk ke badannya yang terlambat ia tarik. Begitu menyadari, kemudian ia tersenyum malu).

    • Udo Sarmin, kuat (iya Udo, tapi kalau bukan Udo, mungkin belum tentu selamat, begitu cerita orang-orang. Orang-orang itu tidak salah, lihatlab kedua tangan Udo begitu kuat, otot-ototnya menonjol).

    • Emak Limah, baik hati (Ambillah, min. Tapi jangan lupa, kau rapikan cabang-cabang yang menjuntai kedapur. Emak takut kalau dahannya akan menimpa rumah Emak. Kasihan Raudah, nanti dia tinggal dimana bersama suaminya).


    4. • Raudah: Cantik, Hidungnya bangir,kulitnya coklat, bibirnya merah merekah
    • Udo Sarmin: Masih muda, Gagah
    • Emak Limah: Sudah tua

    5. Sudut pandang orang pertama karena dia menggunakan kata aku dan pengarang seakan-akan ikut dalam cerita.

    BalasHapus
  14. AMANDA SAGITA RAHMADANI
    XII IPS 2

    1. Bercerita tentang seorang nelayan yang jatuh cinta kepada seorang kembang desa yang bernama Raudah, tak disangka Raudah si gadis desa juga memiliki perasaan yang sama kepada Udo Sarmin. Lewat secangkir kopi yang dibuat Raudah itulah Udo Sarmin mengungkapkan sebesar apa perasaan cintanya kepada Raudah.
    Seorang nelayan yang bernama Udo Sarmin yang barusaja ditinggalkan istrinya. Walaupun dalam kondisi sulit sekalipun Raudah tetap menerima Udo Sarmin.

    2. Udo Sarmin, Raudah, Emak Limah

    3. Udo Sarmin, kuat (iya Udo, tapi kalau bukan Udo, mungkin belum tentu selamat, begitu cerita orang-orang. Orang-orang itu tidak salah, lihatlab kedua tangan Udo begitu kuat, otot-ototnya menonjol).
    - Raudah, pemalu (Aku mengubah arah pandanganku kearah posisi Raudah berdiri. Sepintas aku masih menangkap posisi ibu jari tangan kanannya masih menunjuk ke badannya yang terlambat ia tarik. Begitu menyadari, kemudian ia tersenyum malu).
    - Emak Limah, baik hati (Ambillah, min. Tapi jangan lupa, kau rapikan cabang-cabang yang menjuntai kedapur. Emak takut kalau dahannya akan menimpa rumah Emak. Kasihan Raudah, nanti dia tinggal dimana bersama suaminya).

    4. - Udo Sarmin : kuat
    - Raudah : cantik
    - Emak Limah : tua

    5. - Sudut pandang orang pertama, sudut pandang ini biasanya menggunakan kata ganti "aku" atau "saya". Dalam hal ini pengarang seakan-akan terlibat dalam cerita dan bertindak sebagai tokoh cerita.

    BalasHapus