Senin, 10 September 2012

Secangkir Kopi Raudah


Secangkir Kopi Raudah
                                                                Oleh Afrizal

      Pantai sepi. Angin tipis dan kemudian menghilang di dedaunan. Sementara itu langit sebelah barat semakin merona merah. Air laut berkilau keemasan. Dan, masih terlihat sekelompok burung camar berterbangan di atas permukaan air mengintai ikan-ikan kecil. Kadang burung-burung itu terbang men-dekat ke pantai, kadang menjauh sehingga terlihat seperti titik hitam yang berpindah-pindah. Ada juga perahu nelayan, di beberapa tempat, mengayun sesuai dengan irama gelombang air. Walaupun senja akan bermula tapi cahaya matahari masih sempurna sehingga menyilaukan mata dan membuat perih di kulit.
     Aku sengaja berlindung dari kejaran sinar matahari di balik pohon pidada yang satu-satunya tum-buh di pinggir pantai ini. Pohon itu bak raksasa, akar-akarnya mencengkeram dalam ke tanah. Dedau-nannya rindang menghijau, menempel di ranting dan dahan-dahannya yang perkasa. Pada pokok po-hon itulah perahuku ditambatkan. Kini, perahu itu pesakitan. Kepalanya patah dihantam ombak.
      Dulu, perahu cadik itu pun pernah pesakitan seperti ini. Malah kondisinya lebih parah. Badannya terpotong dua bagian. Separuhnya hanyut terbawa arus air. Sekian lama aku tidak bisa melaut. Sampai akhirnya aku melihat pohon nangka di halaman rumah Emak Limah, tetangga jauhku yang masih ter-masuk kerabat Bapak. Dari pohon itulah perahu itu disambung kembali. Tapi sekarang, masihkah pohon itu ada? Senja ini aku akan ke sana. Sudah lama juga rasanya tidak bersilahturahim dengan Emak Limah. Waktu Bapak masih ada, aku sering diajak bertandang ke sana.
     Setelah mematok-matok di bagian mana dari perahu itu yang rusak, perlahan aku mulai meninggal-kan pinggir pantai. Sementara itu, angin berhembus, menyapu wajah dan menyibakkan rambut di dahiku. Sebentar lagi angin akan berputar arah, dari darat ke laut, menjadi angin darat. Aku segera mempercepat langkahku.
     Matahari telah tenggelam sepenuhnya saat aku menapaki halaman rumah Emak Limah. Dari teras rumah, aku dapat melihat cahaya lampu tempel melalui cela dinding palupuah itu.  Ada bayangan orang yang sedang melintas menuju pintu. Sepertinya orang yang ada di dalam rumah sudah menge-tahui keberadaan tamunya. Mencicit pintu tua itu dibuka. Dan, seorang perempuan muda, Raudah, masih mengenakan mukena-mungkin usai salat Magrib, sudah berdiri di pinggir pintu. Raudah adalah cucu Emak Limah. Baru kali ini aku melihat wajah Raudah dari dekat. Orang-orang,  para pemuda di kampung kami, sering memperkatakannya. Kecantikan dan keelokan budinya melebihi gadis-gadis lain di desa ini. Lihat saja, hidungnya bangir. Kulitnya coklat. Bibirnya merah merekah. Aku hampir tak berkedip menatapnya.
     “Mm, Udo Sarmin!” katanya agak tergagap.
     Aku segera menyadari telah membuatnya sedikit gugup. “Ada Emak!”
     “Lho kok mencari Emak, kan ada ...,” Raudah tersenyum membuang canggungnya. “Oya, aku juga turut prihatin atas peristiwa yang menimpa Udo kemarin. Seisi kampung membicarakan peristiwa itu.”
     “Risiko seorang nelayan Raudah.”
     “Iya Udo, tapi kalau bukan Udo, mungkin belum tentu selamat, begitu cerita orang-orang. Orang-orang itu tidak salah, lihatlah kedua tangan Udo begitu kuat. Otot-ototnya menonjol.”
     “Bisa saja Raudah. Udo jadi malu.”
    Begitu mempersilakan masuk, aku dibawa oleh Raudah ke bilik tempat Emak Limah terbaring. Aku menyampaikan maksudku.  
     “Ambillah, Min. Tapi jangan lupa, kaurapikan cabang-cabang yang menjuntai ke dapur. Emak takut kalau dahannya akan menimpa rumah Emak. Kasihan Raudah, nanti dia tinggal di mana bersama suaminya.”
     Aku mengangguk. Raudah tersenyum ke arahku. Satu kata Emak Limah menohok jantungku, sua- mi! Apakah Raudah sudah ada yang melamar? Berita sekecil apa pun akan cepat tersiar di kampung ini, tidak terkecuali acara lamaran! Kalau memang iya, siapa lelaki yang beruntung itu? Jantungku tiba-tiba berdetak tak keruan. Darah mengalir cepat di nadiku. Aku patut-patut wajah Raudah dite-rangnya cahaya lampu tempel yang tertancap di dinding palupuah, gadis itu tertunduk, di saat yang sama diam-diam rupanya mata Raudah juga mencoba mencuri pandang ke arahku. Tatapan kami berbenturan.
     Setelah pamit pada Emak Limah, Raudah mengantarkanku sampai ke pintu. Gadis itu berjalan persis di sampingku. Tak sengaja tangan kanannya menyentuh lengan kiriku. Halus kulitnya seakan menyetrum sampai ke jantung. Raudah sepertinya juga memberikan reaksi. Tanpa sengaja pandangan mata kami bertemu. Terang matanya tertangkap sepenuhnya olehku. Entah magnet apa yang ada di situ, aku merasa ingin berlama-lama menatapnya. Akhirnya sesungging senyum Raudah menyadar-kanku. Cepat-cepat kualihkan pandangan ke arah lain untuk membuang malu. Malu, seorang lelaki yang sudah berkeluarga seperti aku masih saja jelalatan melihat perempuan lain.
     Di luar gelap telah sempurna. “Tengok-tengoklah Emak ke sini, Do Sarmin,” suara Raudah.
     Sekali lagi aku menatapnya tapi tidak berani lama, lalu mengangguk. Selanjutnya, setapak demi setapak aku mulai meninggalkan pekarangan rumah Emak Limah. Begitu kakiku sampai di jalanan setapak, aku sempatkan menoleh ke belakang. Rupanya Raudah masih saja berdiri mematung meman-dang ke arahku. Ia melambaikan tangan. Sejurus kemudian, barulah ia  menutup pintu itu rapat-rapat. Aku pun mempercepat langkah meninggalkan rumah Emak Limah.
     Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah berada di belakang rumah Emak Limah. Dengan se- buah kampak, cabang pohon nangka yang mengarah ke dapur,  aku pangkas. Kemudian memotong-motongnya dengan ukuran panjang empat puluh sentimeter. Kalau nanti potongan-potongan kayu itu sudah kering, dibelah dijadikan cadangan kayu bakar. Pagi-pagi aku sudah bersimbah keringat. Ke- mudian menyusun potongan-potongan kayu itu di samping dapur. Dari arah dapur asap terlihat me- ngepul. Mungkin Raudah sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan pagi untuk Emak Limah. Aku sibuk meneliti setiap cabang pohon nangka. Mencari cabangnya yang sudah tua dan lurus.
     “Do, ni kopinya.”
     Dari arah dapur, Raudah dengan sebuah baki membawa secangkir kopi. Sungguh beda penampi-lannya dibandingkan dengan sore kemarin. Rambutnya yang panjang itu dikuncir ke belakang. Ada polesan bedak di wajahnya, tipis dan rapi. Pakaian yang dia kenakan bukanlah pakaian rumah. Celana jeans dan kaos putih lengan panjang. Sebuah selendang putih mengalungi lehernya.
     “Sudah dapat yang dicari,” lanjutnya sambil menaruh cangkir kopi itu pada sebuah meja kecil tak jauh dari sisi sebelah kiri pohon nangka. Asap masih mengebul dari  cangkir kopi itu. Aroma khas kopi menyentuh hidungku, membangkitkan selera untuk segera menyeruputnya.
     “Sulit juga ya mencari yang sesuai selera.”
     “Bukan selera, tapi kebutuhan.”
     “Memang beda?”
     “Tipis. Sebenarnya hampir semua cabang sudah memenuhi syarat, cuma risikonya harus dimini- malkan. Itu yang sebelah situ cocok, lurus, sudah tua, nah kalau dipotong bisa menimpa bilik Emak.”
     “O, jangan .... “
     “Sementara cabang yang sebelah sini kalau dipotong jatuhnya nanti arah barat, paling kandang ayam yang dipojok sana terkena ranting dan daunnya. Kecil risikonya, sayangnya belum terlalu tua, cepat lapuk.”
     “Tidak sembarangan ya,” Raudah menimpali. Sepertinya dia sudah mulai paham tentang apa yang dimaksud.
     “Cari yang risikonya kecil saja, Do!”
     “Nah itu!”
     “Kalau yang ini!”
     “Yang mana?”
     “Ya Udo, melihatnya selalu ke atas.”
      “Mana, ... “ Aku mengubah arah pandanganku ke arah posisi Raudah berdiri. Sepintas aku masih menangkap posisi ibu jari tangan kananya masih menunjuk ke badannya yang terlambat ia tarik. Be- gitu menyadari, kemudian ia tersenyum malu.
     “Apa boleh?”
      “Jangan tunggu kopinya dingin Udo,”  ucapnya sambil berlalu ke arah dapur tanpa menghiraukan tanyaku.
     Setelah mendapatkan cabang yang tepat, aku memotong dan mulai mengolahnya. Membutuhkan waktu beberapa hari untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Aku ingin perahu itu cepat selesai, makanya pagi-pagi sekali dalam beberapa hari aku sudah berada di belakang rumah Emak Limah. Dan, setiap pagi juga Raudah direpotkan dengan menyuguhkan secangkir kopi panas untukku. Kadang dia ikut menemaniku sambil juga menikmati secangkir kopi. Itu sudah berlangsung empat hari.Namun hari ini, hari kelima, tidak terlihat asap mengepul seperti biasanya di dapur Emak Limah. Dan, sudah hampir jam sembilan pagi, secangkir kopi itu juga belum hadir. Semua pintu dan jendela rumah Emak Limah tertutup rapat. Kemanakah Raudah dan Emak Limah? Tiba-tiba perasaan kehilangan itu menelusup di hatiku. Wajahnya Raudah, senyumnya, suaranya, dan kopi hitam yang khas itu. Tidak seorang pun yang bisa menyeduhkan kopi pas dengan seleraku selain almarhum Emak. Namun Raudah, seduhan kopi oleh tangannya yang lembut itu begitu pas di seleraku.
***
     Raudah masih menangis. Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan pemakaman itu. Aku ber- diri mematung tak jauh dari posisi Raudah yang sedang bersimpuh pada pusara Emak Limah. Aku sangat memaklumi kesedihannya. Dengan kepergian Emak Limah, dia akan tinggal sebatang kara.
     “Raudah, sebentar lagi malam datang, ayolah kita pulang,” ajakku.
     Gadis itu menoleh. Matanya sembab. Kedua pipinya basah. “Rasanya aku tidak kuat menghadapi hidup ini tanpa Emak.”
     “Kan ada ... .”Aku tidak melanjutkan kalimatku karena secara spontan Raudah melirik ke arahku. Aku yakin Raudah pasti sudah tahu arah bicaraku.
     “Maksud Udo ... .”
     “Kalau bersama Udo masih juga tidak kuat?”
     “Bersama Udo!”
     “Ya.”
     “Bukankah sudah ada Uni Rabiah, maaf, Udo.”
     “Tapi ... .”
     “Apa kata orang-orang nantinya Udo, Raudah me ... .”
     “Entahlah, Udo juga tidak habis pikir. Tapi benar, Udo tidak bisa melupakan secangkir kopi yang Raudah seduh.”
     “Apa, Udo!”
     “Ramuan dari dukun mana yang kautaburkan di cangkir kopi itu sehingga membuat aku selalu memikirkanmu?”
     “Ramuan!”
     “Ya, ramuan. Sudah banyak kedai kopi yang kusinggahi tapi aku tak menemukan senikmat kopi yang Raudah seduh.”
     “Maksud Udo!”
     “Secangkir kopi dari Raudah setiap pagi, itu yang udo mau.”
      Raudah menengadakan wajahnya. “Lalu, Uni Rabiah!”
      “Semenjak angin laut tidak lagi bersahabat pada nelayan di kampung kita, semenjak itu pula dia meninggalkan Udo. Dia pulang ke rumah orang tuanya. Beberapa kali Udo mencoba mengajaknya kembali ke rumah tapi sepertinya ia sudah tidak mau. Bahkan kabar terakhir yang Udo dengar, ia sudah berangkat ke negeri seberang mencari pekerjaan. Mungkin sulit menggantungkan hidup dari seorang nelayan seperti Udo ini Raudah.”
      Senja sudah turun. Burung-burung mayang yang berterbangan dari ranting ke ranting di pemaka-man, sesekali memperdengarkan kicauannya. Mungkin burung-burung itu juga bermaksud menghibur hati kami yang sedang berduka saat ini. Raudah berdiri. Menatapku sebentar. Sesaat kemudian, ia menggamit lenganku. Ia mengajakku melangkah. Langkah-langkah kami pelan namun setapak demi setapak kami semakin menjauh dari pemakaman umum itu. Sambil melangkah, Raudah memeluk lengan kiriku dengan erat!

       

                                                                                                                             Neroktog, 181011
     
       

    
    
    


Sabtu, 08 September 2012

Maling Kampungan


Maling Kampungan
Oleh Afrizal

     
     Pagi buta, beberapa orang warga menemukan seorang anak gadis tergeletak di bawah po-hon di pinggir hutan di batas kampung. Wajahnya kuyu dan pakaiannya acak-acakkan. Dan, gadis itu tidak mampu menjawab tanya orang-orang mengapa dia berada di sana sepagi itu. Mulut gadis itu terkunci rapat. Tampaknya telah terjadi sesuatu yang buruk pada gadis ini. Peristiwa ini dengan cepat tersiar ke seluruh kampung. Kampung pun seketika heboh.
     Selang setengah jam, berita itu juga telah sampai ke kepala kampung. Kepala kampung yang terkenal reaktif itu pun bertindak. Keamanan kampung segera ditugaskan untuk men-cari siapa si pelaku. Sementara itu, supaya warga kampung tidak dicekam ketakutan, melalui corong surau, juru penerang kampung memberikan pengertian kepada masyarakat. Keama-nan diperketat. Jaga malam kembali dihidupkan.
     Bagaimana pun hebatnya sistem keamanan, maling ya tetap maling, selalu saja punya ce-lah. Semalam, berjarak cuma beberapa pekan dari peristiwa pertama, anak gadis Pak Lakik, upiak Rubiah, ditemukan di ladang Ju Un. Gadis cantik yang malang itu dibawa ke rumahnya oleh warga dengan diiringi isak tangis orang tuanya.
     Rubiah adalah gadis baik, sopan dan pintar. Beberapa kali ia tercatat mewakili kampung  mengikuti lomba baca Qur’an. Ia harapan keluarga untuk memberikan contoh kepada adik-adiknya. Bahkan teladan bagi para wanita dalam sopan santun pergaulan di kampung itu. Banyak anak muda yang berharap kelak bisa mempersunting gadis ini. Namun, karena mu-sibah yang menimpanya, gadis ini akan layu seperti bunga yang usai dihisap madunya. Tidak akan ada lagi laki-laki yang melirik. Gadis itu akan menjadi gadis sunyi, berkurung diri di kamar dan tersisih dari pergaulan.
     Karena keamanan kampung tidak berhasil mengungkap siapa pelaku yang menculik gadis-gadis itu, kepala kampung pun punya inisiatif lain, yaitu mengumpulkan orang-orang pintar, orang sakti, tetua adat, para datuk dan ulama. Dari lurah, dari gunung, lembah mereka berda-tangan. Beberapa keluarga korban ikut dihadirkan. Barangkali kehadiran mereka bisa mem-berikan kontribusi untuk membuat keputusan nantinya. Sidang yang diadakan di surau kecil itu pun dimulai.
     Berbagai pandangan dikemukan.
      “Menurut mato batin Ambo, kasus ini termasuk kategori sulit untuk dipecahkan,” begitu Katik Endah,  paranormal dari dusun Baliak Bukit memulai. “Korban tidak bisa diminta ke-terangannya. Di tempat kejadian juga tidak ditemukan bukti... .”
     “Bapak Kepala Kampung,” Wan Pulun memotong. “Kok tidak ada bukti! Bukankah si korban itu bisa dijadikan barang bukti!“
     “Maksud Ambo... .”
     “Ini menyangkut harga diri, sampai kapan pun mereka tidak akan mau bicara.”
     “Lalu?” tanya kepala kampung.
     Hadirin terdiam.
     “Mm, maaf,” suara Yek Damang orang pandai dari dusun Seberang Sungai dengan  ragu-ragu memecah sunyi.
     “Ya silakan!”
     “Saya tidak melihat Pakiah Yunuih,  apa lupa diundang?”
     Kepala kampung menoleh ke kiri, ke arah Katar. Katarlah yang menyebarkan undangan. Katar gelagapan namun dengan cepat memberikan isyarat kepada kepala kampung. Isyarat yang hanya mereka berdua yang mengerti.
     “Alaa, kita jangan bersandi pada satu orang!” dengan nada agak kesal kepala kampung menanggapi pertanyaan Yek Damang.
     “Maksud saya, mungkin akan lebih afdol dengan kehadiran beliau!”
     “Nah, kita-kita ini dianggap apa!” kepala kampung kaget.
     “Tanpa mengecilkan arti kita-kita yang ada di ruangan ini, tapi kehadiran Pakiah Yunuih satu-satunya sesepuh kampung yang masih ada, masih kita butuhkan,” suara dari kiri ruangan. Seluruh mata yang hadir tertuju ke arah datangnya suara. Angku Nurdin yang dari tadi diam sambil menghisap rokok gulungan daun nipah ikut bicara. “Roh jahat itu se-lalu berawal dari selatan kampung kita. Lupakah kita bahwa lambah yang ada di sana pada awal pendirian kampung ini pernah dijadikan tempat pembuangan iblis? Pakiah Yunuih tahu persis hal itu! Sebuah kecerobohan kalau tidak melibatkan beliau.”
     “Yang berbuat sekarang ini bukan iblis, tapi maling,” sebuah suara dari pojok ruangan. “Kita tidak perlu Pakiah Yunuih!”
     “Ya, belum dibutuhkan,” suara Katik Endah keras. “ Ini kan perbuatan maling kampung-an,” lanjutnya.
     “Ya, yang namanya maling pasti dikuasai iblis,” dengan nada meledek sehingga memancing gelak tawa hadirin.
     “Sudah! Sudah, dalam situasi begini kalian masih bisa saja tertawa,” kepala kampung me-nengahi pembicaraan. “Bukannya jalan keluar yang kalian kemukakan, malah melontarkan kalimat-kalimat yang tidak jelas. Ya sudah, percuma mengundang kalian. Kasus ini saya am-bil alih saja. Namun sebagai perpanjangan tangan, saya mohon kesediaan Saudara Katik Endah untuk memimpin di lapangan.” Tiba-tiba ruangan surau yang kecil itu ramai oleh suara. Hadirin saling berbisik kepada orang yang duduk di samping kiri atau kanan mereka. Keputusan itu mengagetkan. Yang lebih pantas menurut mereka adalah kalau tidak Yek Damang atau malah Angku nurdin. Kesepuhan mereka tidak bisa diragukan lagi. Namun ini adalah keputusan kepala kampung, mereka tidak berani protes. Padahal mereka semua tahu siapa itu Katik Endah. Di usianya yang masih muda itu tentu saja pengalamannya masih dangkal. Mendapatkan kepercayaan, Katik Endah memperlihatkan kemenangan. Hidungnya yang lebar itu pun semakin mekar.
     “Maaf, Kepala Kampung, “ sebuah suara yang berat terdengar dari arah kanan ruangan. Seorang lelaki tua, kulit pipinya keriput, botak, janggutnya panjang, mata tersuruk ke dalam, namun bola matanya seperti sepasang mata kobra. Beliau adalah Sorak, seorang dukun dari dusun Patuih Kiramaik. Suara gemuruh pun reda seketika. “Saya tidak meragukan kemam-puan Katik Endah,  namun bolehkah saya mengabdikan diri dalam tim ini?” Sorak bicara agak malu-malu, dari matanya terlihat ia memang berharap untuk dapat masuk tim pimpinan Katik Endah.
     “Ya boleh, “ kepala kampung tersenyum. “Tapi harus satu kata, jangan menggunting dalam lipatan. Bukan begitu para ulama?”  Ulama yang hadir malam itu hampir serentak mengangguk.
     Pertemuan usai. Undangan berarak pulang. Sambil pulang orang-orang sibuk mendis-kusikan penunjukan Katik Endah. Kemampuan Katik Endah diragukan untuk dapat me-nuntaskan kasus ini. Bahkan sebagian ada yang mencibirkan keputusan yang dibuat oleh pimpinan mereka. “Lihat saja nanti, kalau kasus ini tuntas,  potong kuping saya,” kata Yek Damang sambil memegang daun kupingnya yang sebelah kiri kepada teman-teman seper-jalanannya. “Sorak itu lebih tepat disebut si tukang santet daripada mengobati orang!”
     “Jangan-jangan ada konspirasi lain dibalik penunjukan Katik Endah,” yang lain menim-pali.
     Suasana kampung tidak juga kunjung lepas dari bayang-bayang ketakutan. Walaupun sudah beberapa pekan tim bentukan kepala kampung itu bekerja, hasilnya belum terlihat. Sebulan sudah, malah ada peristiwa yang paling mengejutkan. Sekarang ada kecendrungan pelaku memperluas mangsanya. Bukan hanya gadis, tapi janda. Tercatat, Limah, janda di-tinggal mati almarhum Wan Sarun, ditemukan oleh sekelompok warga di bawah pohon Sagu Pak Sabas. Posisi badannya tengkurap, seperti biasa kondisinya lemas. Tidak ada kata-kata yang bisa didengar dari Limah sebagai petunjuk siapa kira-kira yang membawa dia ke sana. Tim yang dipimpin Katik Endah datang ke lokasi. Hanya bisa manggut-manggut dan tanpa mendapatkan petunjuk apa-apa untuk membuka tabir persitiwa itu.
     Ketakutan warga semakin menjadi-jadi. Sebagian bapak-bapak malah ada yang berse-loroh, “Sekarang janda, jangan-jangan istri-istri kita nanti yang mereka boyong dari bilik rumah kita saat kita tidur.  Cilako tigo baleh!
     Karena tim bentukannya tidak efektif, kepala kampung mengambil inisiatif untuk menga-dakan pertemuan lagi. Orang-orang yang diundang pada pertemuan pertama dipanggil kem-bali. Kali ini pertemuan dihadiri oleh banyak warga. Warga sangat penasaran kira-kira kepu-tusan penting apa yang akan diambil oleh kepala kampung kali ini. Apakah masih tidak me-ngindahkan pendapat dan suara warga dalam proses pengambilan keputusan, atau bertindak ceroboh dengan tim palai badah kosong di bawah komando Katik Endah?  Namun baru saja kepala kampung ingin memulai pertemuan, tiba-tiba masuklah sepasang suami istri. Mereka menyeruak di antara hadirin, dan meratap di hadapan kepala kampung. Tidak begitu jelas apa yang disampaikan pasangan itu karena isak tangisnya menggetarkan bibirnya saat bicara. Orang-orang yang duduknya paling dekat dengan kepala kampung, hanya dapat menangkap sepotong kalimat bahwa anak gadisnya yang tadi usai salat Magrib tiba-tiba menghilang. Pe-ristiwa ini membuat suasana pertemuan menjadi kacau. Dan akhirnya, dengan suara keras kepala kampung berteriak, Bapak-bapak, Ibu-ibu semua, malam ini mari kita berjaga, tidak seorang pun warga boleh tidur kecuali wanita hamil dan balita, kita amankan setiap jengkal kampung kita. Temukan anak gadis Bapak Ibu ini!”
     “Yaaa, kita basmi kejahatan!” Begitu sambut orang-orang. “Apa sih yang diinginkan oleh maling kampungan yang bejat itu?” suara yang lain tak kalah lantangnya sambil mengepalkan tinju. Jadilah malam itu malam yang sibuk. Namun seperti biasa, menjelang pagi barulah anak gadis yang dicari itu ditemukan tergolek di pondok ladang jagung Pak Samiak.
***
      Satu tahun hampir! Kekacauan yang menimpa kampung itu tak sempat juga terpecahkan. Inisial maling juga belum diketahui. Terhitung hampir enam gadis, tiga janda, satu berstatus istri warga sudah menjadi korbannya. Seperti itu catatan yang bisa kita baca di kantor  kepala kampung. Bahkan berita yang menggegerkan adalah salah seorang gadis yang pernah jadi korban maling itu, sekarang ini tengah hamil. Nah, lho, mengandung anak siapa? Sebuah aib besar tentunya bagi keluarga yang ditimpa namun lain dengan ketua tim bentukkan kepala kampung. Ia berharap anak yang dikandung gadis malang itu bisa lahir dengan selamat. Mungkin ada saja tanda yang bisa dibaca melalui orok yang lahir itu sebagai petunjuk. Sayang memang, bayi itu sudah muncul di dunia ini di saat kehamilan belum sempurna. Lahir prema-tur! Katik Endah sibuk memeriksa orok yang lahir tanpa nyawa itu. Namun ia kembali gagal menemukan petunjuk pemecahan kasus ini. Di sisi lain, berkembang isu yang menghebohkan. Adalah Mak Oon, dukun beranak yang membantu proses persalinan itu sebenarnya melihat ciri berupa tando hitam di daun telinga sebelah kanan si bayi. Kalau begitu, siapa yang benar ni! Opini masyarakat pun terpecah.
     Tando hitam! Mungkinkah itu warisan dari ayah biologisnya?
     Semua warga sibuk membicarakannya, bahkan tanpa mereka sadari, mereka telah sibuk memeriksa daun telinga mereka sendiri, saudara, tetangga dan tamu laki-laki yang sempat berkunjung ke kampung mereka.
     “Tidak akan pernah ditemukan tando hitam itu.”
     “Kok begitu!”
     “Kalau ambo katakan tidak, ya tidak. Memang kalian berani memeriksa daun telinga kepa-la kampung kita,” begitu suara Yek Damang lancang di warung kopi Mak Noma pagi itu.
     “Lho, mengapa harus daun telinga kepala kampung?”
     “Semua orang kampung, termasuk orang yang lalu lalang di kampung kita, sudah diperik-sa, tidak ditemukan tando itu. Satu-satunya yang belum ya kepala kampung.“ Yek Damang bicara serius. Orang-orang yang hadir di situ saling berpandangan.
     “Apa mungkin... .”
     “Pertanyaan kalian nah di situ ada jawabannya, “ Yek Damang tersenyum renyah, semen-tara tangan kanannya mengacung ke timur, ke arah puncak bukit Barisan nan menghijau. “Ni, nasi katan satu, kopi segelas, dan pisang goreng tiga, “ sambil menaruh uang sepuluh ribuan di meja warung kopi Mak Noma. Selanjutnya Yek Damang mengurai langkah menuju arah timur. Orang-orang hanya saling berpandangan menatap kepergian Yek Damang.
                                                                                                      
                                                                                                     Neroktog, September 2011


  

Senyum Mak Ina


Senyum Mak Ina
                                                                            Oleh Afrizal
     Mak Ina, begitulah orang-orang memanggilnya. Orangnya pendiam; tak banyak cakap. Lebih banyak mengandalkan gerak atau gesture tubuh kalau bicara. Gerak tangan, kepala, mata, atau malah lebih banyak tersenyum untuk merespon lawan bicaranya.  Mengatakan iya dengan senyum, tidak dengan senyum. Apa-apa persoalan dihadapi dengan senyum. Kami anak-anaknya tentu saja sudah sangat terbiasa dengan hal ini. Kami fasih menerjemahkannya. Senyum adalah bahasa Mak, bahasa kalbu Mak. Kalbu seorang ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya.
     Selain cara berkomunikasi, ada sisi lain yang menonjol dari Mak, yakni perhatiannya kepada anak-anak. Apa saja tentang anaknya, tidak secuil pun terlewatkan oleh beliau. Termasuk urusan jodoh, misalnya. Dari sekian anaknya Mak, aku sangat terlambat memikirkan hal itu.  Mak sangat meri-saukannya. Sehingga suatu hari dengan gaya khasnya Mak  menyindirku, kapan Mak bisa bertemu dengan perempuan yang pernah kauceritakan itu? Aku kaget. Ternyata Mak masih ingat tentang perempuan yang tanpa sengaja kuceritakan kepada beliau beberapa waktu yang lalu. Perempuan yang mampu membuat detak jantungku berdebar lebih kencang. Aku hanya tersenyum menang-gapinya. Sehingga suatu hari aku membawa seorang gadis yang matanya paling hidup di antara gadis-gadis yang kukenal. Di danau keteduhan matanya tak kita temukan riak. Kita bisa menyelam dan be-renang di matanya. Di mana kautemukan gadis itu, begitu kira-kira bahasa kalbu yang terpancar dari mata Mak yang sedikit coklat. Aku tersenyum malu. Gadis yang kubawa itu adalah Sri  atau Sri Sumirah lengkapnya, yang kelak menjadi ibu dari anak-anakku. Seperti biasa Mak tidak akan berko-mentar.  Kita cukup paham bahwa mak bahagia. Kebahagiaan terpancar dari senyum yang tak pernah lepas dari bibir Mak. 
     Perjumpaan kami malam ini membuat segala rinduku buyar. Masih sesungging senyumannya yang khas, beliau memaknai aku anaknya dengan sifat-sifat keibuannya. Beliau senang. Gurat tua di wajah-nya memperkatakan begitu.
     Tak sepatah katapun memang keluar dari bibir Mak. Aku hati-hati menjaga perasaan Mak. Aku tidak ingin kualitas pertemuan ini menjadi rusak gara-gara tidak bisa menahan emosi dan perasaan yang tidak begitu mendasar. Benar, Mak itu sehat, Mak itu tidak sakit. Penyakit tanpa indo)* yang pernah menyerang beliau tidak terlihat sama sekali.
     Panyakit tanpa indo memang sangat umum terjadi di daerah kami. Penyakit ini umumnya menyerang orang-orang yang sudah berusia paruh baya. Masyarakat kami menyebutnya sebagai penyakit yang aneh dan misterius. Datang tiba-tiba dan merenggut nyawa. Sebagian masyarakat mengatakan penyakit itu adalah sebuah kutukan.
     Aku memang sangat mengkhawatirkan keadaan Mak. Syukurlah Mak sepertinya tidak apa-apa. Buktinya malam ini Mak terlihat segar dengan daster coklat kembang-kembang putih yang dikena-kannya. Mak itu punya karakter yang kuat, di situlah letak kecantikan beliau. Sebagaimana ibu-ibu    di kampung kami, sulitnya kehidupan telah mengasah Mak semenjak kecil. Terbiasa sendiri, terbiasa mandiri. Makanya kalau pun benar Mak masih sakit beliau tidak akan pernah memperlihatkannya kepada orang lain, apalagi kepada anak-anaknya. Aku masih ingat, mungkin masih sepuluh tahunan-lah usiaku ketika itu. Rata-rata kami sekeluarga hanya bisa makan satu kali sehari. Perut kami hari-harinya kosong keroncongan. Untuk mengisi perut yang kosong kami disuruh minum yang banyak. Atau, disuruh mencari pisang, singkong, atau buah apa saja yang ada di kebun di belakang rumah. Makan buah, singkong atau pisang juga membuat perut tetap kencang seperti anak-anak lain yang kenyang oleh nasi. Kami tidak cengeng.  Alhamdulillah kita masih bisa makan, kata Mak, walaupun cuma sekali sehari.  Hal seperti itu sangat sering dialami oleh mak sewaktu masih kecil. Kepada anak-anaknya mak sering menceritakan tentang kepahitan hidupnya. Tidak hanya keluarga Mak, hampir rata-rata di kampung kami kehidupannya sulit. Fisik boleh keropos, kata Mak, tapi kita harus punya batin yang kuat.
     “Kasihan kalian. Mak bertekad tidak ingin menyengsarakan kalian. Lihatlah ayah kalian. Kaki sudah menjadi kepala, kepala sudah menjadi kaki demi sesuap nasi. Ayahmu terlihat lebih tua daripada usianya yang sesungguhnya. Tapi kalian tidak usah khawatir. Cukuplah jadi anak-anak yang baik, kami sudah senang.
     Mak benar. Ayah adalah seorang pekerja keras. Bahkan demi kami ayah tak hirau akan kesehatan-nya sendiri.  Kami anak-anaknya bertekad untuk maju. Bagaimana pun kehidupan harus diubah ke arah yang lebih baik. Kami belajar dengan giat. Memang sayang, di saat aku belum menyelesaikan pendidikanku, ayah dipanggil menghadap Yang Kuasa. Mak tinggal sendiri. Jangankan untuk menang-gung hidup kami sekeluarga, untuk menghidupi dirinya sendiri saja jujur rasanya mak tidak sanggup. Begitulah Mak. Dengan tulang-tulangnya yang lemah mak mengais-ngais rezeki. Sehingga tubuhnya yang lemah itu makin tergerus. Penyakit tanpa indo pun datang. Habislah semua. Beruntung di saat yang sama anak tertua beliau, uda Yon, mendapat pekerjaan yang layak. Beban Mak sedikit berku-rang.
    Mak tersenyum. Kemudian melepaskan genggaman tangannya pada tangan kananku. Menepuk pundakku berkali-kali, dan berlalu menuju kamar tengah. Langkah-langkahnya yang berat membuat miris hati memandang. Tak dipungkiri kerentaan mak sudah lama datang. Kadang apa yang kita ucap-kan tak berbalas sewajarnya. Daya kerja otak dan daya ingat beliau sudah sangat rendah. Jangankan nama, saat sekarang beliau sudah susah membedakan aku anaknya yang ke berapa. Pelan-pelan, satu-satu, Tuhan sudah mulai mengambilnya. Menurut uni Nela, hal ini terjadi setelah tanpa indo itu datang untuk ketiga kalinya. Seluruh syaraf beliau sebelah kiri melemah fungsinya. Mulai dari kepala sampai ujung kaki. Sudah pasti sangat mengganggu kerja jantung yang notabene berada pada rongga dada sebelah kiri. Aku takut kalau alat yang paling vital pada tubuh manusia itu berhenti mendadak. Dan, kematian itu sudah sulit untuk dicegah. Terus terang aku belum siap menerima kenyataan itu. Aku belum melakukan apa-apa untuk mak.
    Mak mucul kembali. Kemudian menggamit tangan kananku dan mengajakku melangkah. Aku ikuti saja apa maunya mak. Sri, istriku, yang berdiri di sampingku hanya bengong dan melongo saja meli-hat adegan itu. Aku pikir untuk apa, rupanya mak ingin mengajak aku untuk mengitari luar dan dalam rumah. Tanpa kata beliau menunjuk bagian-bagian rumah yang sudah mulai merapuh. Mulai dari din-ding rumah. Meranti itu sebagian sudah bisa dilubangi dengan jari telunjuk. Padahal itu adalah kayu  kualitas terbaik saat rumah itu dibangun oleh ayah. Atap rumah juga begitu. Di bagian tertentu kalau kita melihat ke atas dari dalam rumah, kerlap-kerlip bintang di langit pun bisa kita nikmati melalui bolongan atap rumbio yang sudah tua itu. Bahkan serpihan atap-atap lapuk itu sebagian berceceran pada lantai rumah.
     Satu per satu kamar kami datangi. Kami lama terhenti pada kamar belakang. Di sana terdapat dipan sederhana. Tikar pandan masih tergelar di atasnya. Memoriku segera mengingatkan. Bukankah di kamar ini aku biasa merebahkan diri beristirahat kala gelap malam itu datang? Bahkan di kamar itulah darah tertumpah saat kehadiranku keluar dari rahim Mak untuk menghirup udara kehidupan ini.
     Aku mencoba memasuki kamar itu lebih jauh. Mak membiarkanku mengenali benda-benda yang terdapat di sana. Luar biasa! Lemari kecil itu, meja belajar, radio butut kesayanganku, masih ada. Tidak ada yang hilang atau berpindah tempat. Mak tersenyum ke arahku. Cuma karena sudah lama tidak ditempati, debu sudah menjarah di mana-mana. Dalam hati aku berucap, tenang saja Mak, aku janji rumah tua peninggalan ayah ini akan aku renovasi tanpa harus membuang kenangan atau memori sejarah keluarga besar kita. Sekali lagi mak tersenyum. Seakan-akan mak memang telah membaca suara batinku.
     Aku terhenti agak lama pada radio butut yang ada di atas meja belajar. Sungguh konyol ketika itu. Gara-gara radio jelek ini aku sempat punya cita-cita untuk menjadi seorang penyiar, pembaca berita. Akan kubuktikan kepada orang-orang kampung bahwa aku juga bisa terkenal lewat suaraku yang ngebas. Sayang cita-cita itu buyar di saat kuncup-kuncup usia remajaku mulai mekar. Aku didoktrin menjadi tentara oleh kakak tertuaku uda Yon. Tapi itu juga akhirnya kandas. Sudah berapa lama radio kesayangan itu tidak aku sentuh, aku sendiri sudah lupa. Radio itu sudah rusak dibanting oleh keme-nakanku, anak uni Nela. Inilah kali pertamanya lagi kusentuh. Debunya menempel sudah layaknya sebagai daki yang lengket pada kulit manusia. Kusentuh dan kuelus radio itu dengan lembut, seperti aku memperlakukan benda yang sangat istimewa dalam hidupku.
*  *  *
     “Khuk, huuk khuk ... “
     Suara itu membuatku kaget. Mencari-cari sesuatu kiri-kanan. Tidak ada Mak, hanya Sri. Hanya Sri! Itu suara batuk istriku? Tidak jauh dari tidurku, perempuan itu dengan berat menahan kantuknya. Lihatlah matanya sudah mulai celong. Danau di matanya kemerah-merahan.
     “Kamu belum tidur?”
     Sri menggeleng lemah. Wajahnya kusam dan pucat. Jerawat sudah mulai bermunculan di sana sini pada wajahnya. Tatapan matanya agak redup.
     Sampai kapan kita harus seperti ini? Larut dengan kesedihan yang panjang.” Sudah tidak ter-hitung kalimat-kalimat seperti itu terlontar dari bibirnya belakangan ini. “ Masa berkabung itu sudah harus diakhiri,” lanjutnya.  “Lihatlah anak-anak kita. Kau telah menyita semua waktu dan perhatianku.  Mereka terbiar kini!”
     Perempuan itu menatapku dengan kekhawatiran yang dalam. Danau di matanya yang biasanya tenang kini beriak. Gelombang-gelombangnya menghempas tajam ke pinggir danau dan berbalik arah ketika menghantam bebatuan. Biru meneduhkan kini berganti dengan gersang. Lama aku larut dalam mata itu. Tidak ada lagi bayangan Mak di sana. Biasanya di kala rindu, aku bisa menangkap sebias senyuman Mak di mata itu.
     Da,” ia mengguncang-guncang bahuku.
    “Mak di mana...
    Berhentilah berhalusinasi. Sesungguhnya Mak kan sudah di sana. Lebih abadi dibanding alam fana yang kita tempati sekarang!”
     Tapi, Sri.”
    Sri menatapku heran, tapi kemudian mencoba merangkulku. Tubuhku didekapnya erat. Lama. Sampai detak-detak jantungnya menggetarkan dadaku. Air danau di matanya meleleh bagai lahar panas gunung Marapi menelusuri kali yang mengalir di kakinya. Hangatnya sampai terasa di pu-nggungku. Perempuan ini menangis. Dia menangis!  Pelukan yang seakan tidak mau dia lepas.
     “Da,  aku bawa anak-anak.” Masih dalam dekapannya.
     “Maksudmu?”
     “Kami akan ke rumah ibu.” Bulir-bulir air menderas dari bola matanya.
     “Sri ... .” Itukah makna tangisnya? Sisanya mulutku tercekat. Aku berteriak, namun suara tidak pernah muncul dari mulutku. Air mataku meleleh.
     Sepagi itu dengan bungkusan kain seadanya, Sri meninggalkan rumah dengan membawa Millien dan Cinta menuju arah utara. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena tiba-tiba saja semua anggota badanku berasa menjadi kaku: bibirku kaku, lidahku kaku, tanganku kaku, kakiku kaku. Aku benar-benar tidak bisa melakukan sesuatu untuk mencegah kepergian istri dan anak-anakku. Sekelebat kilatan mata Millien dan Cinta memandang tak mengerti ke arahku. Selanjutnya, mereka benar-benar meninggalkanku  di pagi dingin yang membekukan ini.
   
                                                                                                          Ujung Padang-Kambang , November, 2010          
)* penyakit stroke