Selasa, 27 November 2012

Sesungguhnya Aku Bukan Siti Nurbaya


Sesungguhnya Aku Bukan Siti Nurbaya

Siti
Kalau kau masih ada
Lukiskanlah risaumu
Biar hati yang tercabik ini
Tidak menjadi luka yang menganga

Aku ingin tahu
Bagaimana kau meredam
Inginmu

Siti
Kalau kau masih ada
Berilah sedikit saja
Biar berontak di hati berubah jinak
Dan senyum bunda tidak menjadi pisau
Iris jantung

Sayang kau telah tiada
Tak melihat diriku
Yang sedang sekarat

Bunda
aku tak bisa menjadi Siti Nurbaya
seperti yang kau mau

                                                             20120306
























Senja



Senja telah jatuh
Di pelataran rumah
Masih kunikmatikah banjir terakhir
Kali ini

Senja telah jatuh
Telah memberi tanda; rambut
yang sudah tak hitam di kepala

Senja telah jatuh
kini
Cahaya merah berpendar di langit
Pohon nangka tua itu sejarah yang
tak mau bicara

Senja ini
Kalaupun pohon nangka itu
tumbang
Sakratul maut itu menjadi senyum terakhirku

pamit adalah yang terbaik


pamit adalah yang terbaik


pamit adalah hal yang terbaik

saat tubuh terus tergerus
tulang rusuk sudah dapat dihitung
mata mulai bersembunyi

pamit adalah hal yang terbaik

darah merah bergelorah itu sudah terkapar
jari jemariku selalu ingin mencari pinggir kain
akan kutarik untuk bisa menutup tubuh ini
namun tangan tak lagi dapat digerakkan

pamit adalah hal yang terbaik

rasanya telah sampai di ujung jalan
di langit langit kamar
berterbangan bayangan putih dan hitam
sesekali mereka tersenyum

aku telah siap
ambillah
cabutlah seperti apa yang kaumau
tapi jangan sisakan sedih pada keturunanku

pamit memang yang terbaik saat ini

Jumat, 23 November 2012

pada tanah merah


pada tanah merah

gerimis turun
titik-titik luluh di dedaunan
mengangkut debu
jatuh pada tanah
merah

pada musim seperti ini
setahun yang lalu
kau ucapkan kata selamat tinggal
pada setumpuk tanah
merah

tahukah kau
siang berganti malam
terang berganti redup
kemarau pun telah pergi
tapi kegersangan itu
tak pernah lari
adakah hal tercela yang telah kami lakukan
berkata kasar pada orang tua
lalim kepada anak-anak
melalaikan hak-hak orang lain
pelan-pelan sudah kami ubah
dosa-dosa itu sudah kami kubur pada tanah
merah

berharap luruh dan menjadi humus
penyubur tanaman
pohon mangga itu sudah terlambat
beberapa bulan berbunga
anyelir tinggal ranting-ranting mencakar
apakah sifat tamak sang korup
punya andil memengaruhi nasib baik kami

Senin, 10 September 2012

Secangkir Kopi Raudah


Secangkir Kopi Raudah
                                                                Oleh Afrizal

      Pantai sepi. Angin tipis dan kemudian menghilang di dedaunan. Sementara itu langit sebelah barat semakin merona merah. Air laut berkilau keemasan. Dan, masih terlihat sekelompok burung camar berterbangan di atas permukaan air mengintai ikan-ikan kecil. Kadang burung-burung itu terbang men-dekat ke pantai, kadang menjauh sehingga terlihat seperti titik hitam yang berpindah-pindah. Ada juga perahu nelayan, di beberapa tempat, mengayun sesuai dengan irama gelombang air. Walaupun senja akan bermula tapi cahaya matahari masih sempurna sehingga menyilaukan mata dan membuat perih di kulit.
     Aku sengaja berlindung dari kejaran sinar matahari di balik pohon pidada yang satu-satunya tum-buh di pinggir pantai ini. Pohon itu bak raksasa, akar-akarnya mencengkeram dalam ke tanah. Dedau-nannya rindang menghijau, menempel di ranting dan dahan-dahannya yang perkasa. Pada pokok po-hon itulah perahuku ditambatkan. Kini, perahu itu pesakitan. Kepalanya patah dihantam ombak.
      Dulu, perahu cadik itu pun pernah pesakitan seperti ini. Malah kondisinya lebih parah. Badannya terpotong dua bagian. Separuhnya hanyut terbawa arus air. Sekian lama aku tidak bisa melaut. Sampai akhirnya aku melihat pohon nangka di halaman rumah Emak Limah, tetangga jauhku yang masih ter-masuk kerabat Bapak. Dari pohon itulah perahu itu disambung kembali. Tapi sekarang, masihkah pohon itu ada? Senja ini aku akan ke sana. Sudah lama juga rasanya tidak bersilahturahim dengan Emak Limah. Waktu Bapak masih ada, aku sering diajak bertandang ke sana.
     Setelah mematok-matok di bagian mana dari perahu itu yang rusak, perlahan aku mulai meninggal-kan pinggir pantai. Sementara itu, angin berhembus, menyapu wajah dan menyibakkan rambut di dahiku. Sebentar lagi angin akan berputar arah, dari darat ke laut, menjadi angin darat. Aku segera mempercepat langkahku.
     Matahari telah tenggelam sepenuhnya saat aku menapaki halaman rumah Emak Limah. Dari teras rumah, aku dapat melihat cahaya lampu tempel melalui cela dinding palupuah itu.  Ada bayangan orang yang sedang melintas menuju pintu. Sepertinya orang yang ada di dalam rumah sudah menge-tahui keberadaan tamunya. Mencicit pintu tua itu dibuka. Dan, seorang perempuan muda, Raudah, masih mengenakan mukena-mungkin usai salat Magrib, sudah berdiri di pinggir pintu. Raudah adalah cucu Emak Limah. Baru kali ini aku melihat wajah Raudah dari dekat. Orang-orang,  para pemuda di kampung kami, sering memperkatakannya. Kecantikan dan keelokan budinya melebihi gadis-gadis lain di desa ini. Lihat saja, hidungnya bangir. Kulitnya coklat. Bibirnya merah merekah. Aku hampir tak berkedip menatapnya.
     “Mm, Udo Sarmin!” katanya agak tergagap.
     Aku segera menyadari telah membuatnya sedikit gugup. “Ada Emak!”
     “Lho kok mencari Emak, kan ada ...,” Raudah tersenyum membuang canggungnya. “Oya, aku juga turut prihatin atas peristiwa yang menimpa Udo kemarin. Seisi kampung membicarakan peristiwa itu.”
     “Risiko seorang nelayan Raudah.”
     “Iya Udo, tapi kalau bukan Udo, mungkin belum tentu selamat, begitu cerita orang-orang. Orang-orang itu tidak salah, lihatlah kedua tangan Udo begitu kuat. Otot-ototnya menonjol.”
     “Bisa saja Raudah. Udo jadi malu.”
    Begitu mempersilakan masuk, aku dibawa oleh Raudah ke bilik tempat Emak Limah terbaring. Aku menyampaikan maksudku.  
     “Ambillah, Min. Tapi jangan lupa, kaurapikan cabang-cabang yang menjuntai ke dapur. Emak takut kalau dahannya akan menimpa rumah Emak. Kasihan Raudah, nanti dia tinggal di mana bersama suaminya.”
     Aku mengangguk. Raudah tersenyum ke arahku. Satu kata Emak Limah menohok jantungku, sua- mi! Apakah Raudah sudah ada yang melamar? Berita sekecil apa pun akan cepat tersiar di kampung ini, tidak terkecuali acara lamaran! Kalau memang iya, siapa lelaki yang beruntung itu? Jantungku tiba-tiba berdetak tak keruan. Darah mengalir cepat di nadiku. Aku patut-patut wajah Raudah dite-rangnya cahaya lampu tempel yang tertancap di dinding palupuah, gadis itu tertunduk, di saat yang sama diam-diam rupanya mata Raudah juga mencoba mencuri pandang ke arahku. Tatapan kami berbenturan.
     Setelah pamit pada Emak Limah, Raudah mengantarkanku sampai ke pintu. Gadis itu berjalan persis di sampingku. Tak sengaja tangan kanannya menyentuh lengan kiriku. Halus kulitnya seakan menyetrum sampai ke jantung. Raudah sepertinya juga memberikan reaksi. Tanpa sengaja pandangan mata kami bertemu. Terang matanya tertangkap sepenuhnya olehku. Entah magnet apa yang ada di situ, aku merasa ingin berlama-lama menatapnya. Akhirnya sesungging senyum Raudah menyadar-kanku. Cepat-cepat kualihkan pandangan ke arah lain untuk membuang malu. Malu, seorang lelaki yang sudah berkeluarga seperti aku masih saja jelalatan melihat perempuan lain.
     Di luar gelap telah sempurna. “Tengok-tengoklah Emak ke sini, Do Sarmin,” suara Raudah.
     Sekali lagi aku menatapnya tapi tidak berani lama, lalu mengangguk. Selanjutnya, setapak demi setapak aku mulai meninggalkan pekarangan rumah Emak Limah. Begitu kakiku sampai di jalanan setapak, aku sempatkan menoleh ke belakang. Rupanya Raudah masih saja berdiri mematung meman-dang ke arahku. Ia melambaikan tangan. Sejurus kemudian, barulah ia  menutup pintu itu rapat-rapat. Aku pun mempercepat langkah meninggalkan rumah Emak Limah.
     Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah berada di belakang rumah Emak Limah. Dengan se- buah kampak, cabang pohon nangka yang mengarah ke dapur,  aku pangkas. Kemudian memotong-motongnya dengan ukuran panjang empat puluh sentimeter. Kalau nanti potongan-potongan kayu itu sudah kering, dibelah dijadikan cadangan kayu bakar. Pagi-pagi aku sudah bersimbah keringat. Ke- mudian menyusun potongan-potongan kayu itu di samping dapur. Dari arah dapur asap terlihat me- ngepul. Mungkin Raudah sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan pagi untuk Emak Limah. Aku sibuk meneliti setiap cabang pohon nangka. Mencari cabangnya yang sudah tua dan lurus.
     “Do, ni kopinya.”
     Dari arah dapur, Raudah dengan sebuah baki membawa secangkir kopi. Sungguh beda penampi-lannya dibandingkan dengan sore kemarin. Rambutnya yang panjang itu dikuncir ke belakang. Ada polesan bedak di wajahnya, tipis dan rapi. Pakaian yang dia kenakan bukanlah pakaian rumah. Celana jeans dan kaos putih lengan panjang. Sebuah selendang putih mengalungi lehernya.
     “Sudah dapat yang dicari,” lanjutnya sambil menaruh cangkir kopi itu pada sebuah meja kecil tak jauh dari sisi sebelah kiri pohon nangka. Asap masih mengebul dari  cangkir kopi itu. Aroma khas kopi menyentuh hidungku, membangkitkan selera untuk segera menyeruputnya.
     “Sulit juga ya mencari yang sesuai selera.”
     “Bukan selera, tapi kebutuhan.”
     “Memang beda?”
     “Tipis. Sebenarnya hampir semua cabang sudah memenuhi syarat, cuma risikonya harus dimini- malkan. Itu yang sebelah situ cocok, lurus, sudah tua, nah kalau dipotong bisa menimpa bilik Emak.”
     “O, jangan .... “
     “Sementara cabang yang sebelah sini kalau dipotong jatuhnya nanti arah barat, paling kandang ayam yang dipojok sana terkena ranting dan daunnya. Kecil risikonya, sayangnya belum terlalu tua, cepat lapuk.”
     “Tidak sembarangan ya,” Raudah menimpali. Sepertinya dia sudah mulai paham tentang apa yang dimaksud.
     “Cari yang risikonya kecil saja, Do!”
     “Nah itu!”
     “Kalau yang ini!”
     “Yang mana?”
     “Ya Udo, melihatnya selalu ke atas.”
      “Mana, ... “ Aku mengubah arah pandanganku ke arah posisi Raudah berdiri. Sepintas aku masih menangkap posisi ibu jari tangan kananya masih menunjuk ke badannya yang terlambat ia tarik. Be- gitu menyadari, kemudian ia tersenyum malu.
     “Apa boleh?”
      “Jangan tunggu kopinya dingin Udo,”  ucapnya sambil berlalu ke arah dapur tanpa menghiraukan tanyaku.
     Setelah mendapatkan cabang yang tepat, aku memotong dan mulai mengolahnya. Membutuhkan waktu beberapa hari untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Aku ingin perahu itu cepat selesai, makanya pagi-pagi sekali dalam beberapa hari aku sudah berada di belakang rumah Emak Limah. Dan, setiap pagi juga Raudah direpotkan dengan menyuguhkan secangkir kopi panas untukku. Kadang dia ikut menemaniku sambil juga menikmati secangkir kopi. Itu sudah berlangsung empat hari.Namun hari ini, hari kelima, tidak terlihat asap mengepul seperti biasanya di dapur Emak Limah. Dan, sudah hampir jam sembilan pagi, secangkir kopi itu juga belum hadir. Semua pintu dan jendela rumah Emak Limah tertutup rapat. Kemanakah Raudah dan Emak Limah? Tiba-tiba perasaan kehilangan itu menelusup di hatiku. Wajahnya Raudah, senyumnya, suaranya, dan kopi hitam yang khas itu. Tidak seorang pun yang bisa menyeduhkan kopi pas dengan seleraku selain almarhum Emak. Namun Raudah, seduhan kopi oleh tangannya yang lembut itu begitu pas di seleraku.
***
     Raudah masih menangis. Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan pemakaman itu. Aku ber- diri mematung tak jauh dari posisi Raudah yang sedang bersimpuh pada pusara Emak Limah. Aku sangat memaklumi kesedihannya. Dengan kepergian Emak Limah, dia akan tinggal sebatang kara.
     “Raudah, sebentar lagi malam datang, ayolah kita pulang,” ajakku.
     Gadis itu menoleh. Matanya sembab. Kedua pipinya basah. “Rasanya aku tidak kuat menghadapi hidup ini tanpa Emak.”
     “Kan ada ... .”Aku tidak melanjutkan kalimatku karena secara spontan Raudah melirik ke arahku. Aku yakin Raudah pasti sudah tahu arah bicaraku.
     “Maksud Udo ... .”
     “Kalau bersama Udo masih juga tidak kuat?”
     “Bersama Udo!”
     “Ya.”
     “Bukankah sudah ada Uni Rabiah, maaf, Udo.”
     “Tapi ... .”
     “Apa kata orang-orang nantinya Udo, Raudah me ... .”
     “Entahlah, Udo juga tidak habis pikir. Tapi benar, Udo tidak bisa melupakan secangkir kopi yang Raudah seduh.”
     “Apa, Udo!”
     “Ramuan dari dukun mana yang kautaburkan di cangkir kopi itu sehingga membuat aku selalu memikirkanmu?”
     “Ramuan!”
     “Ya, ramuan. Sudah banyak kedai kopi yang kusinggahi tapi aku tak menemukan senikmat kopi yang Raudah seduh.”
     “Maksud Udo!”
     “Secangkir kopi dari Raudah setiap pagi, itu yang udo mau.”
      Raudah menengadakan wajahnya. “Lalu, Uni Rabiah!”
      “Semenjak angin laut tidak lagi bersahabat pada nelayan di kampung kita, semenjak itu pula dia meninggalkan Udo. Dia pulang ke rumah orang tuanya. Beberapa kali Udo mencoba mengajaknya kembali ke rumah tapi sepertinya ia sudah tidak mau. Bahkan kabar terakhir yang Udo dengar, ia sudah berangkat ke negeri seberang mencari pekerjaan. Mungkin sulit menggantungkan hidup dari seorang nelayan seperti Udo ini Raudah.”
      Senja sudah turun. Burung-burung mayang yang berterbangan dari ranting ke ranting di pemaka-man, sesekali memperdengarkan kicauannya. Mungkin burung-burung itu juga bermaksud menghibur hati kami yang sedang berduka saat ini. Raudah berdiri. Menatapku sebentar. Sesaat kemudian, ia menggamit lenganku. Ia mengajakku melangkah. Langkah-langkah kami pelan namun setapak demi setapak kami semakin menjauh dari pemakaman umum itu. Sambil melangkah, Raudah memeluk lengan kiriku dengan erat!

       

                                                                                                                             Neroktog, 181011