Secangkir Kopi Raudah
Oleh Afrizal
Pantai sepi. Angin tipis dan kemudian menghilang
di dedaunan. Sementara itu langit sebelah barat semakin merona merah. Air laut
berkilau keemasan. Dan, masih terlihat sekelompok burung camar berterbangan di
atas permukaan air mengintai ikan-ikan kecil. Kadang burung-burung itu terbang men-dekat
ke pantai, kadang menjauh sehingga terlihat seperti titik hitam yang
berpindah-pindah. Ada juga perahu nelayan, di beberapa tempat, mengayun sesuai dengan
irama gelombang air. Walaupun senja akan bermula tapi cahaya matahari masih
sempurna sehingga menyilaukan mata dan membuat perih di kulit.
Aku sengaja berlindung dari kejaran
sinar matahari di balik pohon pidada yang satu-satunya tum-buh di pinggir
pantai ini. Pohon itu bak raksasa, akar-akarnya mencengkeram dalam ke tanah.
Dedau-nannya rindang menghijau, menempel di ranting dan dahan-dahannya yang
perkasa. Pada pokok po-hon itulah perahuku ditambatkan. Kini, perahu itu pesakitan.
Kepalanya patah dihantam ombak.
Dulu, perahu cadik itu pun pernah pesakitan
seperti ini. Malah kondisinya lebih parah. Badannya terpotong dua bagian.
Separuhnya hanyut terbawa arus air. Sekian lama aku tidak bisa melaut. Sampai
akhirnya aku melihat pohon nangka di halaman rumah Emak Limah, tetangga jauhku
yang masih ter-masuk kerabat Bapak. Dari pohon itulah perahu itu disambung
kembali. Tapi sekarang, masihkah pohon itu ada? Senja ini aku akan ke sana.
Sudah lama juga rasanya tidak bersilahturahim dengan Emak Limah. Waktu Bapak
masih ada, aku sering diajak bertandang ke sana.
Setelah mematok-matok di bagian
mana dari perahu itu yang rusak, perlahan aku mulai meninggal-kan pinggir
pantai. Sementara itu, angin berhembus, menyapu wajah dan menyibakkan rambut di
dahiku. Sebentar lagi angin akan berputar arah, dari darat ke laut, menjadi
angin darat. Aku segera mempercepat langkahku.
Matahari telah tenggelam
sepenuhnya saat aku menapaki halaman rumah Emak Limah. Dari teras rumah, aku
dapat melihat cahaya lampu tempel melalui cela dinding palupuah itu. Ada bayangan orang yang sedang melintas menuju
pintu. Sepertinya orang yang ada di dalam rumah sudah menge-tahui keberadaan
tamunya. Mencicit pintu tua itu dibuka. Dan, seorang perempuan muda, Raudah, masih
mengenakan mukena-mungkin usai salat Magrib, sudah berdiri di pinggir pintu.
Raudah adalah cucu Emak Limah. Baru kali ini aku melihat wajah Raudah dari
dekat. Orang-orang, para pemuda di
kampung kami, sering memperkatakannya. Kecantikan dan keelokan budinya melebihi
gadis-gadis lain di desa ini. Lihat saja, hidungnya bangir. Kulitnya coklat. Bibirnya
merah merekah. Aku hampir tak berkedip menatapnya.
“Mm, Udo Sarmin!” katanya agak
tergagap.
Aku segera menyadari telah
membuatnya sedikit gugup. “Ada Emak!”
“Lho kok mencari Emak, kan ada
...,” Raudah tersenyum membuang canggungnya. “Oya, aku juga turut prihatin atas
peristiwa yang menimpa Udo kemarin. Seisi kampung membicarakan peristiwa itu.”
“Risiko seorang nelayan Raudah.”
“Iya Udo, tapi kalau bukan Udo,
mungkin belum tentu selamat, begitu cerita orang-orang. Orang-orang itu tidak
salah, lihatlah kedua tangan Udo begitu kuat. Otot-ototnya menonjol.”
“Bisa saja Raudah. Udo jadi malu.”
Begitu mempersilakan masuk, aku
dibawa oleh Raudah ke bilik tempat Emak Limah terbaring. Aku menyampaikan
maksudku.
“Ambillah, Min. Tapi jangan
lupa, kaurapikan cabang-cabang yang menjuntai ke dapur. Emak takut kalau
dahannya akan menimpa rumah Emak. Kasihan Raudah, nanti dia tinggal di mana bersama
suaminya.”
Aku mengangguk. Raudah tersenyum
ke arahku. Satu kata Emak Limah menohok jantungku, sua- mi! Apakah Raudah sudah
ada yang melamar? Berita sekecil apa pun akan cepat tersiar di kampung ini, tidak
terkecuali acara lamaran! Kalau memang iya, siapa lelaki yang beruntung itu?
Jantungku tiba-tiba berdetak tak keruan. Darah mengalir cepat di nadiku. Aku
patut-patut wajah Raudah dite-rangnya cahaya lampu tempel yang tertancap di
dinding palupuah, gadis itu tertunduk,
di saat yang sama diam-diam rupanya mata Raudah juga mencoba mencuri pandang ke
arahku. Tatapan kami berbenturan.
Setelah pamit pada Emak Limah,
Raudah mengantarkanku sampai ke pintu. Gadis itu berjalan persis di sampingku.
Tak sengaja tangan kanannya menyentuh lengan kiriku. Halus kulitnya seakan
menyetrum sampai ke jantung. Raudah sepertinya juga memberikan reaksi. Tanpa
sengaja pandangan mata kami bertemu. Terang matanya tertangkap sepenuhnya
olehku. Entah magnet apa yang ada di situ, aku merasa ingin berlama-lama
menatapnya. Akhirnya sesungging senyum Raudah menyadar-kanku. Cepat-cepat
kualihkan pandangan ke arah lain untuk membuang malu. Malu, seorang lelaki yang
sudah berkeluarga seperti aku masih saja jelalatan melihat perempuan lain.
Di luar gelap telah sempurna.
“Tengok-tengoklah Emak ke sini, Do Sarmin,” suara Raudah.
Sekali lagi aku menatapnya tapi
tidak berani lama, lalu mengangguk. Selanjutnya, setapak demi setapak aku mulai
meninggalkan pekarangan rumah Emak Limah. Begitu kakiku sampai di jalanan
setapak, aku sempatkan menoleh ke belakang. Rupanya Raudah masih saja berdiri mematung
meman-dang ke arahku. Ia melambaikan tangan. Sejurus kemudian, barulah ia menutup pintu itu rapat-rapat. Aku pun mempercepat
langkah meninggalkan rumah Emak Limah.
Keesokan harinya, pagi-pagi
sekali aku sudah berada di belakang rumah Emak Limah. Dengan se- buah kampak,
cabang pohon nangka yang mengarah ke dapur, aku pangkas. Kemudian memotong-motongnya
dengan ukuran panjang empat puluh sentimeter. Kalau nanti potongan-potongan
kayu itu sudah kering, dibelah dijadikan cadangan kayu bakar. Pagi-pagi aku
sudah bersimbah keringat. Ke- mudian menyusun potongan-potongan kayu itu di
samping dapur. Dari arah dapur asap terlihat me- ngepul. Mungkin Raudah sudah
bangun dan sedang menyiapkan sarapan pagi untuk Emak Limah. Aku sibuk meneliti
setiap cabang pohon nangka. Mencari cabangnya yang sudah tua dan lurus.
“Do, ni kopinya.”
Dari arah dapur, Raudah dengan
sebuah baki membawa secangkir kopi. Sungguh beda penampi-lannya dibandingkan
dengan sore kemarin. Rambutnya yang panjang itu dikuncir ke belakang. Ada
polesan bedak di wajahnya, tipis dan rapi. Pakaian yang dia kenakan bukanlah
pakaian rumah. Celana jeans dan kaos putih lengan panjang. Sebuah selendang
putih mengalungi lehernya.
“Sudah dapat yang dicari,”
lanjutnya sambil menaruh cangkir kopi itu pada sebuah meja kecil tak jauh dari
sisi sebelah kiri pohon nangka. Asap masih mengebul dari cangkir kopi itu. Aroma khas kopi menyentuh
hidungku, membangkitkan selera untuk segera menyeruputnya.
“Sulit juga ya mencari yang sesuai
selera.”
“Bukan selera, tapi kebutuhan.”
“Memang beda?”
“Tipis. Sebenarnya hampir semua
cabang sudah memenuhi syarat, cuma risikonya harus dimini- malkan. Itu yang
sebelah situ cocok, lurus, sudah tua, nah kalau dipotong bisa menimpa bilik
Emak.”
“O, jangan .... “
“Sementara cabang yang sebelah
sini kalau dipotong jatuhnya nanti arah barat, paling kandang ayam yang dipojok
sana terkena ranting dan daunnya. Kecil risikonya, sayangnya belum terlalu tua,
cepat lapuk.”
“Tidak sembarangan ya,” Raudah
menimpali. Sepertinya dia sudah mulai paham tentang apa yang dimaksud.
“Cari yang risikonya kecil saja,
Do!”
“Nah itu!”
“Kalau yang ini!”
“Yang mana?”
“Ya Udo, melihatnya selalu ke
atas.”
“Mana, ... “ Aku mengubah arah
pandanganku ke arah posisi Raudah berdiri. Sepintas aku masih menangkap posisi
ibu jari tangan kananya masih menunjuk ke badannya yang terlambat ia tarik. Be-
gitu menyadari, kemudian ia tersenyum malu.
“Apa boleh?”
“Jangan tunggu kopinya dingin Udo,” ucapnya sambil berlalu ke arah dapur tanpa
menghiraukan tanyaku.
Setelah mendapatkan cabang yang
tepat, aku memotong dan mulai mengolahnya. Membutuhkan waktu beberapa hari
untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Aku ingin perahu itu cepat selesai, makanya
pagi-pagi sekali dalam beberapa hari aku sudah berada di belakang rumah Emak
Limah. Dan, setiap pagi juga Raudah direpotkan dengan menyuguhkan secangkir
kopi panas untukku. Kadang dia ikut menemaniku sambil juga menikmati secangkir
kopi. Itu sudah berlangsung empat hari.Namun hari ini, hari kelima, tidak
terlihat asap mengepul seperti biasanya di dapur Emak Limah. Dan, sudah hampir
jam sembilan pagi, secangkir kopi itu juga belum hadir. Semua pintu dan jendela
rumah Emak Limah tertutup rapat. Kemanakah Raudah dan Emak Limah? Tiba-tiba
perasaan kehilangan itu menelusup di hatiku. Wajahnya Raudah, senyumnya,
suaranya, dan kopi hitam yang khas itu. Tidak seorang pun yang bisa menyeduhkan
kopi pas dengan seleraku selain almarhum Emak. Namun Raudah, seduhan kopi oleh
tangannya yang lembut itu begitu pas di seleraku.
***
Raudah masih menangis. Satu per
satu orang-orang mulai meninggalkan pemakaman itu. Aku ber- diri mematung tak
jauh dari posisi Raudah yang sedang bersimpuh pada pusara Emak Limah. Aku
sangat memaklumi kesedihannya. Dengan kepergian Emak Limah, dia akan tinggal
sebatang kara.
“Raudah, sebentar lagi malam
datang, ayolah kita pulang,” ajakku.
Gadis itu menoleh. Matanya
sembab. Kedua pipinya basah. “Rasanya aku tidak kuat menghadapi hidup ini tanpa
Emak.”
“Kan ada ... .”Aku tidak
melanjutkan kalimatku karena secara spontan Raudah melirik ke arahku. Aku yakin
Raudah pasti sudah tahu arah bicaraku.
“Maksud Udo ... .”
“Kalau bersama Udo masih juga
tidak kuat?”
“Bersama Udo!”
“Ya.”
“Bukankah sudah ada Uni Rabiah,
maaf, Udo.”
“Tapi ... .”
“Apa kata orang-orang nantinya
Udo, Raudah me ... .”
“Entahlah, Udo juga tidak habis pikir. Tapi
benar, Udo tidak bisa melupakan secangkir kopi yang Raudah seduh.”
“Apa, Udo!”
“Ramuan dari dukun mana yang
kautaburkan di cangkir kopi itu sehingga membuat aku selalu memikirkanmu?”
“Ramuan!”
“Ya, ramuan. Sudah banyak kedai
kopi yang kusinggahi tapi aku tak menemukan senikmat kopi yang Raudah seduh.”
“Maksud Udo!”
“Secangkir kopi dari Raudah
setiap pagi, itu yang udo mau.”
Raudah menengadakan wajahnya. “Lalu, Uni Rabiah!”
“Semenjak angin laut tidak lagi
bersahabat pada nelayan di kampung kita, semenjak itu pula dia meninggalkan
Udo. Dia pulang ke rumah orang tuanya. Beberapa kali Udo mencoba mengajaknya
kembali ke rumah tapi sepertinya ia sudah tidak mau. Bahkan kabar terakhir yang
Udo dengar, ia sudah berangkat ke negeri seberang mencari pekerjaan. Mungkin
sulit menggantungkan hidup dari seorang nelayan seperti Udo ini Raudah.”
Senja sudah turun. Burung-burung
mayang yang berterbangan dari ranting ke ranting di pemaka-man, sesekali
memperdengarkan kicauannya. Mungkin burung-burung itu juga bermaksud menghibur
hati kami yang sedang berduka saat ini. Raudah berdiri. Menatapku sebentar.
Sesaat kemudian, ia menggamit lenganku. Ia mengajakku melangkah. Langkah-langkah
kami pelan namun setapak demi setapak kami semakin menjauh dari pemakaman umum
itu. Sambil melangkah, Raudah memeluk lengan kiriku dengan erat!
Neroktog, 181011